Lorong Estimasiku

Jumat, 26 September 2008

Hukum Islam

HJ. RENNY SUPRIYATNI, SH.MH.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2005



A. SEJARAH ISTILAH



1.Berdasarkan S.K. Mendikbud R.I. No. 0198/U9/1972 Tentang pedoman kurikulum minimal Fakultas Hukum Negeri dan Swasta nasional, dalam pasal 5 (1) b, mata kuliah ini dinamakan : ISLAMOLOGI/LEMBAGA ISLAM/ASAS-ASAS HUKUM ISLAM.

1. SUBKONSORSIUM ILMU HUKUM INDONESIA di Cibulan, Maret 1973 para dosen mata kuliah sejenis seksi Hukum Islam memberi nama : “ASAS-ASAS HUKUM ISLAM” atau Islamologi/Lembaga Islam/Asas-asas Hukum Islam), dan PENGANTAR HUKUM ISLAM

2. Kurikulum 1983: HUKUM ISLAM I. Hukum Islam dibagi dua. Hukum Islam I dan Hukum Islam II, bahasannya tentang Hukum Perkawinan, Waris, dan Peradilan Agama. Kedua-duanya merupakan bagian Hukum Islam.

3. Berdasarkan S.K. Mendikbud RI No. 0325/U/1994 Pasal 6 (5) j, kurikulum nasional baru (sekarang) dinamakan : HUKUM ISLAM.




PENGERTIAN ISTILAH

ISLAMOLOGI
Lingkup bahasannya adalah yang paling luas. Meliputi pengetahuan tentang Islam, hulum, dan lembaga keagamaan, filsafat, kebudayaan, sejarah, politik ekonomi Islam, dan lain sebagainya.

LEMBAGA ISLAM
Sedangkan dengan mempergunakan nama LEMBAGA ISLAM ini, maka ruang lingkup bahasannya lebih khusus, membatasi pada lembaga-lembaganya saja, misalnya :

1. Lembaga keagamaan: aqaid, tassawuf, ibadat, dll.

2. Lembaga kemasyarakatan (berdasarkan Islam) : khitanan, tahlilan, sekatenan, zakat, dll.
3. Lembaga hukum: perkawinan, wakaf, waris, baityul maal, dll.

Apabila mempergunakan istilah atau nama mata kuliah Lembaga Islam, secara sosiologis dapat berarti pola-pola tingkah laku manusia yang tersusun, teratur,kompleks, dan berlaku terus-menerus (lama) dalam suatu masyarakat sebagai realisasi hasrat, kebutuhan, nilai-nilai, serta yang digunakan ukuran penilaian baik buruknya anggota masyarakat (Dr. H. Prat Fairchild, dalam Dictionary of Sosiology).

Dalam artian association ialah organisasi yang bersifat publik atau semi publik yang mempunyai tujuan tertentu yang diakui masyarakat dan diresmikan (Authorized).

Kesimpulan: Lembaga Islam itu mempunyai makna “suatu kebiasaan dalam masyarakat yang berkaitan dengan keagamaan (Islam) yang telah dijadikan acuan/pedoman baik buruknya suatu perbuatan dilakukan, sekalipun tidak merupakan kewajiban”.

Unsur-unsurnya a.1 :
Tingkah laku manusia ;
Merupakan kebiasaan dalam masyarakat ;
Sumbernya, nilai-nilai social;
Sebagai alat kontrol social;
Acuan baik atau buruk dalam masyarakat

ASAS-ASAS HUKUM ISLAM
Bahasannya terbatas tentang teori Hukum Islam yakni dalil-dalil Ushul Al-Fiqh, termasuk dasar dan tujuan syari’at, sebagaimana bahasan teori-teori hukum dalam pelajaran Pengantar Ilmu Hukum.

PENGANTAR HUKUM ISLAM
Meliputi lembaga-lembaga hukum Islam, sumber-sumber syari’at, Peradilan Agama di Indonesia, sistem perkawinan dan waris Islam.

HUKUM ISLAM I
Hukum Islam dibagi dua, bagian satu disebut Hukum Islam I, materi pembahasannya meliputi dasar atau pengantar Hukum Islam. Sedangkan bagian kedua (Hukum Islam II), membahas Hukum Perkawinan dan Kewarisan Islam serta Peradilan Agama Islam.



HUKUM ISLAM
Istilah ini digunakan mulai tahun ajaran 1993/1994, hingga sekarang 2004, ini. Perkataan asas-asas, lembaga-lembaga, sudah dihilangkan sehingga istilah atau namanya kini sesuai adalah Hukum Islam.


B. KEDUDUKAN H. ISLAM DLM KURIKULUM FH.


Mata kuliah Hukum Islam dalam Kurikulum Inti Program Pendidikan Sarjana Hukum merupakan Mata Kuliah Keahlian Hukum wajib fakultas secara nasional, sedang mata kuliah Hukum Islam lainnya menjadi mata kuliah pendalaman, seperti Hukum Perkawinan Dan Kewarisan Islam, yang menjadi mata kuliah wajib Program Kekhususan sebagai muatan lokal.

Disamping itu, mata kuliah Hukum Islam ada di Fakultas Hukum memiliki alasan-alasan, yakni karena alasan sejarah, karena alasan sosiologis, dan karena alasan yuridis.




C. SASARAN BELAJAR


Agar mahasiswa mengetahui sumber (pedoman dasar) Syariat Islam sehingga mampu mencari dan menemukan ketentuan/hukum atas suatu masalah, dari sumber ajaran Islam. Dengan demikian apabila mahasiswa menyebutkan ketentuan atau hukum suatu masalah berdasarkan Islam, ia harus dapat menunjukkan dasar hukumnya yaitu sumber syari’atnya terutama berdasarkan Al-Qur’an dan AL-Hadits. Kedua sumber tersebut disebut sumber Naqliyah.


Agar mahasiswa mampu mencari dan menemukan dan menguasai bagian-bagian dari syari’at Islam yang mempunyai hubungan erat dengan hukum positif kita (seperti hukum perkawinan) dan bidang-bidang mana yang mempengaruhi hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia khususnya bagi yang beragama Islam. Lihat ketentuan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 f, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang menunjuk kepada hukum agama (Islam) berlaku bagi yang beragama Islam, khususnya syarat-syarat, larangan-larangan, tata cara perkawinan berdasar Syariat Islam.

Bagian mana dari Syari’at Islam yang dapat disumbangkan sebagai konsep pembinaan hukum nasional kelak. Misalnya, Hukum Waris Islam telah berangsur-angsur diterima masyarakat Islam sebagai hukum Hukum Waris Nasional, lihat Pasal 49 UU No. 7/1989, yaitu Undang-undang tentang Peradilan Agama, yang diberi wewenang untuk memeriksa, memutuskan perkara waris Islam di seluruh wilayah Indonesia. Khususnya di Pulau Jawa & Madura. Sebelum Undang-undang no.7 thn.1989 tersebut berlaku, Peradilan Agama di pulau Jawa dan Madura tidak memiliki wewenang untuk mengadili perkara tersebut.

Agar mahasiswa mampu membandingkan antara suatu materi pengaturan di dalam hukum Islam dengan materi hukum lainnya pada umumnya, sehingga mahasiswa akan menyadari bahwa Islam telah terlebih dahulu mengajarkan aturan-aturan mengenai materi hukum yang sama, seperti hukum jual beli, kesaksian, janji wajib ditepati (amanah). Tetapi selama ini masyarakat seakan-akan melihatnya sebagai hukum peninggalan bangsa Barat. Misalnya, untuk kesaksian yang sah, minimum kesaksian oleh dua orang saksi ( Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 282), kewajiban hakim mendamaikan suami istri yang berperkara (Al-Qur’an surat An-Nissa ayat 35), dll.




Kesimpulan


Terdapat pembatasan pengertian syariat dalam ari yang luas (umum), yakni dari Hanafi dan Syariat dalam arti sempit (khusus) dari Syafi’i. Para ahli hukum banyak yang mengikuti ajaran Imam Syafi’I yakni yang mengatakan bahwa syariat itu sebagai peraturan-peratuaran lahir atau yang mengikuti tingkah laku dan perbuatan manusia.

Peraturan-peraturan lahir menyangkut dua bidang, yakni:

Peraturan lahir yang mengatur cara bagaimana manusia itu menyelenggarakan hubungan dengan Tuhan atau cara-cara beribadah.
Peraturan lahir yang mengatur cara bagaimana manusia itu menyelenggarakan hubungan dengan makhluk, dengan manusia dan benda lainnya (muamalat).

Untuk nama mata kuliah “Hukum Islam” yang kita pelajari sekatang, pada sebelumnya terdapat nama-nama seperti : Islamologi, Asas-asas Hukum Islam, Lembaga Islam, Hukum Islam I, tapi pada hakikatnya ruang lingkup bahasannya masih sekitar bahasan Hukum Islam yang kita pelajari sekarang ini, walaupun disana sini ada pembahasan aktualitas yang sejalan.

Hukum Islam di Fakultas Hukum, merupakan mata kuliah kurikulum nasional sebagai salah satu mata kuliah dalam minimum kurikulum yang berlaku wajib bagi Fakultas Hukum Negeri maupun Swasta.


DASAR-DASAR PENGERTIAN HUKUM ISLAM


A. ARTI HUKUM ISLAM

Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Hukum Islam, yaitu :

1. Pengertian Islam

Kata “Islam” berasal dari kata Salima ( Bahasa Arab). Dari kata ini terbentuklah kata “Aslama”. Kata Aslama tersebut artinya secara etimologis ialah tunduk, patuh, taat, damai, ikhlas, dan bersih lahir serta bathin.
Islam diartikan damai, sebab Islam membawa ajaran perdamaian, hal ini telah dipraktekan oleh Nabi Muhammad ketika beliau hidup secara berdampingan dengan masyarakat penganut agama Yahudi dan Nasrani di Madinah hidup rukun dan damai. Islam diartikan damai sebab Islam disebarluaskan dengan cara damai bukan dengan cara kekerasan apalagi paksaan.

2. Pengertian Syariat
Adapun yang dimaksud dengan Syariat menurut para ahli ilmu ushul (fiqh), adalah firman Allah yang ditujukan kepada orang muslim yang mukallaf ‘cakap dan bertanggung jawab’, merupakan perintah, larangan, dan kebebasan memilih.
3.Pengertian Fiqih
Ilmu yang memperbincangkan Syariat itu disebut fiqih, artinya menganalisa segala macam hukum yang berasal dari syariat tersebut. Dalam kamus dunia hukum, fiqh ini disebut juga yurisprudensi, interpretasi, prestasi para fuqaha.
Perlu diketahui perbedaan Syariat di satu pihak dan hukum di lain pihak, dengan memandang objek sasaran, sumber masing-masing serta sanksinya.

Hukum
Obyeknya/sasarannya : peraturan-peraturan lahir mengenai hubungan manusia dengan sesama manusia dan dengan benda.
Sumber pokoknya: pikiran atau rasio manusia dan kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.
Semua norma hukum, sanksinya bersifat sekuleir atau keduniaan, dengan menunjuk alat perlengkapan negara, polisi., jaksa, panitera sebagai pelaksana sanksinya.

Syariat
Obyeknya: meliputi peraturan-peraturan lahir mengenai hubungan manusia dengan Tuhan (ibadah).
Sumber pokoknya : wahyu dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu (deducation of wahyu).
Sanksinya ‘pembalasan dari Tuhan baik di dunia terutama di akhirat.
Pengertian terhadap syariat tersebut ada dua pendapat:

1. Menurut Imam Abu Hanifah, beliau mengartikan bahwa yang dinamakan syariat adalah semua ajaran wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya. Secara umum, semua wahyu yang ada hubungan lahiriyah maupun bathiniyah. Para ulama berpendapat bahwa pendefinisian Hanafi ini dipandang sebagai definisi yang luas, karena ajaran Nabi Muhammad SAW yang bersumber pada wahyu itu merupakan keseluruhan dari agama Islam itu sendiri, yang meliputi Aqa’id, syariat, tasawuf , dll.

2. Menurut Imam Syafi’I, beliau berpendapat bahwa yang dinamakan syariat itu adalah wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah, berisikan hukum-hukum khusus, yang berhubungan dengan perbuatan lahiriah saja, yakni yang mengatur tingkah laku manusia dengan :
a. Hubungan Vertikal ‘pengandian kepada Allah’ yang diatur dalam hukum syariat yang disebut ibadah.
b. Hubungan Horizontal ‘hubungan dengan sesama manusia atau masyarakat, lingkunag alam sekitarnya’, hal mana oleh syariat diatur dalam beberapa hal, antara lain, hukum muamalat (perdata), hukum jinayat (kriminal), hukum munahakat (undang-undang pernikahan) dan lain sebagainya.
Imam Syafi’I mendefinisikan syariat sebagai peraturan-peraturan lahir bagi umat Islam yang bersumber pada wahyu dan kesimpulan-kesimpulan (deducations) yang dapat ditarik daripada wahyu. Peraturan-peraturan lahir itu mengenai cara bagaimana manusia berhubungan dengan Allah dan sesama makhluk, khususnya dengan sesama manusia. Definisi dari Imam Syafi’I ini dipandang sebagai definisi arti sempit (khusus) dari syariat.

Alasan :
1) Semasa Rasulullah SAW hidup, masalah hukum bathiniyah/ibadah, keimanan tidak banyak permasalahan, karena sahabat, masyarakat telah merasa puas dengan apa yang telah dijelaskan dalam Al Quran. Sehingga, sedikit sekali hadits Rasulullah SAW menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan bathiniyah (keimanan). Tetapi yang paling banyak adalah hadits yang berhubungan hukum lahiriyah peri kehidupan umat.

2). Memang dewasa ini, banyak hal hukum-hukum yang berhubungan dengan lahiriyah tingkah laku kehidupan masyarakat, seperti hukum merubah alat kelamin dengan operasi, bayi tabung, keluarga berencana, dan lain sebagainya.
B. RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM

Ruang lingkup Hukum Islam, meliputi :

1. Munakahat, mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta akibat-akibatnya;
2. Wirasah/Faraid, mengatur segala masalah-masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, dan bagian waris;
3. Muamalat (dalam arti khusus), mengatur masalahkebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan dlsb.;
4. Jinayat/Ukubat, yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan yang diancam dengan hukuman, yang terdiri atas :
a. jarimah Hudud, hukumannya berdasarkan Qur’an dan sunah.
b. Jarimah Ta’zir, hukumannya berasal dari penguasa.
5. Al Sulthananiyah, membicarakan soal-soal yang berhubungan kepala negara, pemerintahan (pusat,daerah, pajak, dsb.).
6. Siyar, mengatur urusan perang dan damai, hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
7. Mukhashamat, mengatur soal peradilan, kehakiman dan acara.


C. CIRI-CIRI HUKUM ISLAM

Hukum Islam memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:
1. merupakan bagian dan bersumber dari agama Islam;
2. Mempunyai hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkandari iman atau akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam;
3. Mempunyai dua istilah kunci, yaitu syariat dan fiqih.
a. Syariat, yaitu wahyu Allah dan Hadist/sunah.
b.Fiqih, yaitu, pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang syariah.
4. Memiliki dua bidang utama, yaitu : ibadat yang memiliki sifat tertutup dan muamalat bersifat terbuka.
5. Strukturnya berlapis, terdiri dari : nash atau teks Al Qur’an, Sunah Nabi Muhamad, hasil ijtihad manusia yang memenuhi syarat tentang Al Qur’an dan sunah/hadist, pelaksanaannya dalam praktek, berupa keputusan hakim dan amalan-amalan umat Islam dalam masyarakat.
6. Mendahulukan kewajiban dari hak, amal dari dari pahala;
7. Dapat dibagi menjadi, Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’I;
8. Berwatak universal, berlaku abadi untuk umat Islam di mana pun mereka berada;
9. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga, rohani dan jasmani;
10. Digerakkan oleh iman dan akhlaq.
D. TUJUAN HUKUM ISLAM

Tujuan Hukum Islam dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi pembuat hukum Islam, Allah dan Rasul-Nya; dan segi manusia yang menjadi pelaku dan pelaksanahukum Islam itu.

1. Dari Pembuat Hukum Islam, terdiri atas :

a. Untuk memenuhi keperluan hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier, yaitu memelihara agama;memelihara jiwa; memelihara akal; memelihara keturunan; memelihara harta.

b.Untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya sehari-hari.

c. Wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam .

2. Dari Pelaku Hukum Islam, yaitu untuk mencapai kehidupan yang bahagia dan sejahtera, dengan kata lain tercapainya keridhoan Allah dalam kehidupan manusia di dunia ini dan di akhirat kelak.







SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

Sumber hukum Islam (syariat) terdiri atas :
I. Aqliyah : Al-Qur’an dan Hadits
II Naqliyah : Ijma dan Qias

Al-Qur’an
1. AL-QURAN DAN NAMA LAINNYA
Arti kata Al-Qur’an:
bacaan, yaitu bacaan untuk mencari tuntunan, sumber untuk menentukan sesuatu yang benar. Al-Furqaan, artinya pembeda. Membaca Al-Qur’an kita dapat membedakan mana yang baik dan buruk, mana yang sebaiknya dilakukan dan tidak dilakukan.
Kitabullah yang artinya Kitab Allah atau kitab suci yang pertama dan utama umat Islam
Ad-dzikir yang artinya peringatan. Peringatan ini ditujukan kepada seluruh alam oleh Allah SWT.

2. Tentang isi / kandungan Al-Qur’an

Isi, kandungan Al-Quran adalah wahyu-wahyu Allah meliputi segala bidang masalah. ( tauhid, keimanan, aqaid, keperdataan termasuk di dalamnya ketentuan tentang hukum perkawinan (munakahat), kepidanaan, sejarah umat manusia sebelum Islam, gambaran dari hari pembalasan (kiamat), harta rampasan perang, dan sebagainya.

a. Pembagian Al-Qur’an berdasarkan isi / kandungan materinya, Dibagi atas 30 juz, 114 surat. Setiap satu surah, yang terbagi atas ayat-ayat. (6666 ayat dan ada pula yang menghitung 6667 ayat. Bahkan pemerintah Mesir secara resmi menetapkan pendapat bahwa jumlah ayat Al-Qur’an adalah 6236 ayat).

b. Penggolongan materi berdasarkan tempat wahyu diturunkan, kurang lebih 22 tahun 2 bulan lamanya, yang terdiri atas :

Ad.1. Ayat-ayat periode Makiyah (13 tahun masih di Mekah, disebut periode Makiyyah).Ciri-ciri khas pada periode ini antara lain:
a). Ayat-ayatnya pendek-pendek.
b).Dimulai dengan perkataan “Yaa Ayyuhannaas”, artinya: “Wahai manusia…”
c). Isinya mengandung hal-hal keimanan, tauhi, aqaid, ancaman dosa dan pahala, budi pekerti dan lain sebagainya.
Wahyu-wahyu yang diturunkan selama periode Makiyah terdiri dari hampir 19/30 bagian Al-Qur’an (86 surah) atau sekitar 4780 ayat.

Ad.2. Ayat-ayat periode Madaniyyah, dengan ciri-ciri:
a). Ayat-ayatnya panjang.
b). Dimulai dengan perkataan “Ya Ayyuhalladzina aamanu…”, artinya “Wahai orang-orang beriman…”
c). Isinya : muamallah (hukum yang berhubungan dengan ke-perdataan hubungan manusia dengan manusia) manusia dengan benda, masalah munakahat (perkawinan), dan hubungan antar negara.
Dari keseluruhan isi Al-Qur’an yang diturunkan di Madinah ini kurang lebih 11/30 bagian Al-Qur’an (28 surah) atau sekitar 1456 ayat.

3. Pencatatan turunnya Wahyu Allah Dan Upaya Pemeliharaan Keaslian Serta Pengkodifikasian Al Qur’an

a. Pencatatan Al-Qur’an semasa hidup Rasulullah, wahyu-wahyu Allah diturunkan /diterima Rasulullah melalui malaikat Jibril secara berangsur-angsur, selama kurang lebih 22 tahun 2 bulan. waktu itu belum ada kertas, maka dicatat di batu, kulit binatang, pelepah kurma, tulang binatang, dan sebagainya.
sekretaris: Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Umar bin Khatab dan yang paling termahsyur adalah Zaid bin Tsabit dan Muawiyah.

b. Kodifikasi Al-Quran setelah Rasulullah wafat dan semasa para Sahabat ( wahyu pun berakhir). Diantara sahabat sepakat mengangkat Abu Bakar sebagai kalifah pertama. salah seorang sahabat Rasulullah yaitu Umar bin Abu Khatab khawatir di suatu saat para sahabat yang hafal atas wahyu-wahyu itu akan punah, menganjurkan pada kalifah Abu Bakar, agar wahyu-wahyu yang dicatat dan dihafal para sahabat dikumpulkan untuk diteliti, diuji keasliannya dan dibukukan. Setelah Abu Bakar meninggal, kepemimpinan dipegang oleh Umar bin Khatab, keadaan masih sama dengan seperti masa Abu Bakar, terdiri dari banyak berkas catatan
Selanjutnya setelah khalifah kedua Abu Bakar meninggal, diganti oleh khalifah Utsman, pada masa khalifah Utsman inilah upaya kodifikasi yaitu membuat bentuk wahyu Allah SWT ke dalam suatu bentuk Al-Quran yang kita kenal sekarang.

4. Hikmahnya Turunnya Wahyu Secara Berangsur, dan tidak sekaligus :

a). agar lebih mudah dimengerti dan dilaksanakan;

b). Diturunkan wahyu sesuai yang dihadapi masyarakat selama hidup Rasulullah;

c). Memudahkan penghafalan;

d). agar Manusia tidak terlalu kaget terhadap hal yang baru, dan tidak bersikap reaktif serta agar tidak menjauhi Islam.


Hadist/Sunnah

Hadist adalah sumber kedua syariat Islam dan hadist dapat juga disebut Sunnah. Sunnah sebagai sumber syariat, berbeda dengan sunnah sebagaii salah satu dari pengkategorian hukum Islam. Sebab sunnah sebagai salah satu pengkatagorian hukum adalah perbuatan yang sebaiknya dilakukan karena kalau dilakukan akan mendapat pahala, sedangkan kalau tidak dilakukan tidak akan berdosa.
Sedangkan Hadist sebagai salah satu sumber syariat, adalah ucapan atau perbuatan Nabi Muhammad SAW termasuk ucapan dan perbuatan sahabat rasullulah, yang telah mendapat pembenaran / penegasan secara terang-terangan atau secara diam-diam dari Rasullulah. Misal bagaimana cara dan syarat shalat.

1. Tentang Pembukuan/Kodifikasi Hadist

a. Larangan Pencatatan
Larangan ini dimaksudkan
1). agar jangan sampai terjadi campur baur antara pencatatan wahyu Ilahi (yang sengaja diperintahkan untuk dicatat) dengan ucapan dan perbuatan Rasullulah kalau ucapan Rasul selagi hidupnya dicatat.
2). untuk membedakan antara wahyu dan sunnah sebagai syariat di satu pihak, dengan sunnah sebagai ucapan atau perbuatan pribadi yang bukan sebagai syariat, misalnya Rasul suka memelihara kucing, tapi tidak sebagai sunnah, jalan memperoleh pahala bagi umatnya.
3). disebabkan bahwa untuk hal-hal yang masih belum jelas, masih dapat dipertanyakan langsung kepada beliau, sehingga tidak akan terjebak pada ucapan yang pernah dicatat, karena atas ucapan yang masih diragukan maknanya, masih dapat ditanyakan penjelasannya pada Rasul.

b. Pencatatan Sunnah
Setelah dipertimbangkan, bahwa kalau pencatatan sunnah Rasul tidak dilakukan segera, akan timbul kerugian bagi Islam. Lalu disepakati oleh para sahabat untuk melaksanakan pencatatan sunah rasullulah. Maksudnya selain untuk dijadikan pedoman yang telah tercatat, juga untuk menghindari pemalsuan ataupun penggelapan berupa sunnah yang dibuat-buat oleh pihak musuh.
Diperhatikan siapa sumber berupa isnad/sanad (orangnya yang meriwayatkan sunnah Rasullulah itu) dan tentang apa matn (materi/isi) dari yang diriwayatkan serta darimana dan dimana ia memperoleh riwayat tersebut dan kemudian dibandingkan dan dicocokkan dengan riwayat yang disampaikannya dan kemudian dibandingkan dan dicocokan dengan riwayat dari sahabat yang lain.

2. Penggolongan Hadist
a. Hadist Shahih, yaitu hadist (matn) yang didasarkan pada isnad atau periwayat, narasumber yang meriwayatkan dan isinya (matu) tidak diragukan sedikitpun.
b.Hadist Hasan, yaitu hadist yang salah seorang rowinya ada yang kurang kuat hafalannya atau hadist yang sanad ataupun matn-nya dirasakan lemah atau kurang sempurna.
c. Hadist Dho’if/ lemah, yaitu hadist yang banyak kekurangan-kekurangannya atau kelemehan-kelemahannya baik dari sudut sanad (perawi) maupun matn (isinya), sehingga sering dikesampingkan atau tidak dipegang sebagai yang mengikat.

Hadits sebagai ucapan atau perbuatan Rasulullah, kita bedakan atas :
1. Sunnah Al-Fiil, adalah tentang cara Nabi Muhammad S.A.W melakukan sesuatu, misalnya tata cara berwudhu, gerakan-gerakan dalam melakukan sholat, begitu pula bacaan yang harus dilakukan ummatnya;
2. Sunnah Al-Qaul, adalah ucapan Rasulullah yang menjadi sumber syari’at, yaitu bagaimana hukum dari sesuatu didasarkan pada yang telah diucapkan Rasul.
3.Sunnah As-Sukut/At-Takrir, yaitu ucapan berupa pendapat sahabat atas sesuatu masalah, ataupun perbuatan sahabat nyata diketahui, tetapi dibiarkan berlangsung oleh Rasul.
IJTIHAD

“Usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap kemampuan yang ada (optimal), dilakukan oleh ahli hukum fuqaha/Mujtahid yang memenuhi syarat, dengan menggunakan akal fikiran untuk menemukan hukum yang belum jelas atau tidak ada ketentuannya, baik dalam Qur’an maupun Hadist”.

Dasar hukum AL-QURAN Berijtihad
“Maka apakah kamu tidak memperhatikan ?” (Q.S. Adz Dzariyat :21)
“Maka tidakkah kamu berpikir ?” (Q.S. Al Baqarah :44)
“Hai orang-orang yang berakal” (Q.S. Al Baqarah :197)
“Dengan demikian kami telah menjadikan kamu yang terpilih”(Q.S.Al Baqarah :143)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dengan Rasulnya dan orang-orang yang beriman yang memegang kekuasaan di antara kamu” (Q.S. An Nissa :59

Dasar Hukum Ijtihad Dalam Hadist
Inti dari dialog :
Rasullulah : “Bagaimana Muadz kamu menyelesaikan persoalan (menjalankan pemerintahan) yang akan kamu hadapi nanti ?”
Muadz : “ Akan saya selesaikan menurut ketentuan Al-Quran”
Rasullulah : “ Bagaimana jika Al-Quran tidak mengaturnya ?”
Muadz : “ Akan saya selesaikan menurut sunnah Rasul “
Rasullulah : “ Bagaimana jika sunnah tidak mengaturnya ?”
Muadz : “ Akan saya selesaikan menurut pikiran saya “

“Bila kamu berijtihad dan ternyata benar, akan berpahala dua dan kalaupun salah akan berpahala satu.”

Syarat-syarat berijtihad

1. Menguasai Bahasa Arab;
2. Mengetahui Al Qur’an (isi, system hukum dan tafsirnya);
3. Mengetahui hadist-hadist;
4. Menguasai sumber-sumber Hukum Islam;
5. Mengetahui dan menguasai kaidah-kaidah fiqih;
6. Mengetahui rahasia dan tujuan-tujuan Hukum Islam;
7. Mempunyai niyat yang ikhlas;
8. Mengetahui masalah-masalah social (antropologi, sosiologi) dan ilmu-ilmu yang relevan dengan masalah yang dihadapi;
9. Dilakukan secara kolektif.
Ijma

“Sumber ketiga syariat Islam , merupakan hasil ijtihad, yaitu: persesuaian pendapat dari para mujtahid, tentang bagaimana hukumnya atas suatu hal / masalah yang belum diatur secara tegas dalam Al-Quran maupun dalam Hadist, apakah sessuatu itu halal atau haram”.
Contoh masalah yang nash-nya belum jelas, sehingga memerlukan ijtihad, antara lain :
Apakah boleh operasi kelamin dari seorang pria menjadi wanita ?
Bolehkah mengikuti program KB (keluarga berencana) dengan metoda apa saja ?
Bolehkah memperoleh bayi dengan teknik bayi tabung ?

Qiyas

Qias berasal dari kata “Qaasa” artinya mengukur atau menimbang. Secara yuridis, “penganalogian (penalaran hukum dari suatu hal) yang sudah jelas, hukumnya dalam Al-Qur'an atau Hadits dapat diberlakukan terhadap hal baru yang mempunyai unsure-unsur kesamaan dengan yang sudah jelas hukumnya yaitu suatu peristiwa baru dengan yang telah jelas diatur di dalam Al-Qur’an atau di dalam Hadits”.
misalnya :
uang kertas diharamkan membungakannya; zakat atas hasil pertanian.

PENGKATAGORIAN HUKUM DALAM ISLAM
(AL AKHKAM – Al KHAMZAH)


A. PEMBAGIAN HUKUM DALAM ISLAM

1. Hukum Wadl’i
Disebut hukum wadl’i karena meletakan/menyaksikan sesuatu sebagai :
- sebab adanya suatu akibat
- Syarat bagi yang diisyaratkan
- penghalang – penghalang hukum

Perbedaan antara syarat dan sebab ialah adanya syarat tidak mesti menyebabkan adanya hukum, sedangkan adanya sebab menyebabkan adanya hukum. Adapun perbedaan antara syarat dan rukun adalah bahwa rukun merupakan unsur hakiki sesuatu, sedangkan syarat berada di luar unsur hakiki ini dan tidak menjadi bagian dari sesuatu tersebut.

Contoh :
1). Sebab : sesuatu yang tampak yang dijadikan tanda adanya hukum.

a. Kematian menjadi sebab adanya ( hukum ) kewarisan

b. Akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami istri.
Dari contoh/rumusan tersebut diatas, banyak ahli menyamakan sebab dan illat yaitu keadaan yang mempengaruhi ada atau tidak adanya suatu hukum.

Namun ada juga yang membedakannya, karena dalam sebab ada hubungan sebab akibat (seperti contoh di atas ), sedangkan dalam illat hubungan sebab akibat itu tidak jelas yang ada adalah hubungan relevansi antara sebab dengan hukum.
Misal, hubungan relevansi antara bepergian dengan hukum yang tidak mewajibkan orang melakukan ibadah puasa.

2). Syarat : sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum.
a. Syarat wajib mengeluarkan zakat harta adalah kalau telah mencapai nisab (jumlah tertentu ) dan haul (waktu tertentu);

b.Berwudlu dan menghadap kiblat syarat sempurnanya shalat orang islam (muslim ).

3). Halangan/mani, sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum.
a. Pembunuhan menghalangi hubungan kewarisan

b. Keadaan gila merupakan penghalang bagi seseorang melakukan tindakan-tindakan hukum.


2. Hukum Taklifi
Disebut hukum taklifi, karena berisi tuntunan/taklif:
- Kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan.
- Anjuran untuk dilakukan karena jelas perbuatan itu bermanfaat.
- Seyogyanya tidak dilakukan, karena tidak berguna dan akan merugikan.
- Perintah yang wajib dilakukan.
- Larangan untuk melakukan.

Hukum taklifi bila dibandingkan dengan hukum Romawi yang hanya mengenal dua katagori hukum yang bersifat : Perintah dan Larangan.

B. PENGKATAGORIAN HUKUM DALAM ISLAM

Pengkatagorian/nilai - nilai syariat dalam Islam, disebutkan sebagai berikut :

1. WAJIB/FARDU
- Segala sesuatu perintah/kewajiban yang harus dilakukan bagi setiap muslim dewasa ( mukalaf ) dan berfikiran sehat.
- Kalau dilanggar/tidak dilakukan sanksinya berdosa dan kalau dilakukan mendapat pahala/ganjaran di akhirat kelak maupun di dunia, seperti pencurian, pembunuhan.

Fardu/Wajib dibagi 2 (dua) yaitu :

1). Fardu/Wajib ain ( Ain = orang ) adalah :

- Kewajiban/perintah yang ditujukan yaitu berlaku kepada setiap orang.
- Kewajiban itu tidak dapat digantikan oleh orang lain atau kelompok orang untuk membebaskan seseorang atau sekelompok orang.

Misal :
- QS II : 183, “ Diwajibkan atas kamu berpuasa “.
- Zakat fitrah.
- Berbakti kepada orang tua, dll.

2). Fardlu/Wajib Kifayah, adalah :

“ Kewajiban/perintah yang ditunjukan kepada satu kumpulan orang ( kolektitivitas ) “.

Bila kewajiban/perintah tersebut tidak ada yang melakukannya, maka semua orang ditempat itu berdosa, tetapi kalau telah dilakukan oleh seseorang atau sebagian orang, maka kewajiban bagi anggota masyarakat lainnya dianggap telah tertunaikan dan terhindar dari dosa.
Misal :
- Menyalatkan jenazah, membuat mesjid, membuat madrasah, jembatan, bendungan, sumur, membersihkan selokan/sampah, dll.

2. SUNAT/MANDUB/MUSTAHAB.
- Perintah/kewajiban yang bersifat tidak mutlak.
- Bila perintah/kewajiban itu dikerjakan akan mendapat pahala dan bila tidak dikerjakan/ditinggalkan tidak akan berdosa.

Misal :
- Puasa senin - kamis.
- Shalat idhul fitri/adha/tarawih.
- Shodaqah.
- Berqurban.

3. HARAM.
- Merupakan suatu larangan yang mutlak.
- Segala sesuatu yang dilarang oleh agama.
- Kalau dilakukan berdosa dan kalau ditinggalkan mendapat pahala.

Misal :
Mencuri, Minum - minuman keras, Zina, Menipu, Membunuh dll.

4. MAKRUH.
- Sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang, tetapi kalau dihindarkan (tidak dikerjakan ) mendapat pahala.

Misal :
Merokok, makan petei dan sejenisnya, mengumpulkan barang - barang antik.

5. MUBAH ( JAIZ ).
- Segala sesuatu yang tidak diwajibkan dan tidak dianjurkan atau tidak dilarang.
- Tidak berpahala dan tidak berdosa bila seseorang melakukan atau tidak melakukan.

Misal :
- QS II : 60 : “ Makanlah dan Minumlah “.
- QS II : 275 : “ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba “.
- QS Al Jumuah : 10 : “ Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebarlah dimuka bumi dan carilah keutamaan Allah “.

Dari uraian di atas, jelas bahwa wajib itu adalah peningkatan sunat sedang haram adalah kelanjutan peningkatan makruh. Atau dengan perkataan lain wajib berasal dari sunat dan haram bersumber pada makruh. Dan karena sunat dan makruh bersumber pada jaiz, maka wajib dan haram berpokok pangkal pada jaiz pula.












C. PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN WADLI

a. Hukum Taklifi dimaksudkan untuk menuntut/melarang atau membolehkan memilih suatu perbuatan. Hukum Wadl’i hanya menjelaskan sesuatu itu adalah sebab, syarat, atau mani.

b. Hukum Taklifi selalu dalam batas - batas kemanapun mukalap ini sesuai dengan keadilan tuntunan/taklif. Hukum Wadl’i tidak selamanya dalam kemampuan mukalap.



Contoh
Yang ada dalam kemam-puan mukalaf
Yang di luar kemampuan mu-kalaf


Sebab

Bepergian menjadi sebab kebolehan berbuka puasa

Hubungan kekerabatan menjadi sebab adanya saling mewaris


Mani

Membunuh pewaris men-jadi penghalang untuk mendapatkan hak terha-dap harta warisan

Kekerabatan yang dekat men-jadi penghalang pernikahan




KESIMPULAN

1. Hukum agama meliputi semua macam kaidah;

2. Jaiz, beserta halal, bukan saja kaidah hukum agama, tetapi juga merupakan kaidah kesusilaan pribadi dan mungkin pula merupakan kaidah hukum dunia yang menimbulkan hak dalam arti kewenangan dengan tiada bertimbalan kewajiban;

3.Sunah dan makruh bukan saja kaidah hukum agama tetapi juga berupa kaidah-kaidah kesusilaan umum;

4. Wajib dan haram bukan saja kaidah hukum agama tetapi juga berupa kaidah - kaidah hukum dunia;

5. Yang membedakan kaidah dalam ketiga lapangan itu ( lapangan kesusilaankah, agamakah, hukum duniakah ) ialah bentuk dan cara sanctumnya (penguatnya ):

a. Di lapangan agama sanctumnya itu berupa siksa dan pahala, ganjaran penderitaan dan ganjaran kebahagiaan, yang langsung dikenakan Tuhan di dunia di akhirat, dan mungkin pula berupa hukuman yang dikenakan oleh penguasa dunia menurut penetapan Allah;

b Di lapangan kesusilaan umum, sanctum itu berupa celaan dan pujian;

a. Di lapangan hukum dunia, sanctum itu berupa hukuman dalam berbagai bentuknya.

6. Penguasa berhak menjadikan perbuatan yang semulanya dibidang kesusilaan umum berkaidah sunah atau makruh menjadi perbuatan yang berbentuk suruhan atau larangan dengan mengubah kaidahnya menjadi wajib atau haram;

7. Di bidang hukum agama dilarang mengubah yang halal menjadi haram ( QS V : 87 ; L.XVI : 1 ) atau menjadikan yang haram menjadi halal ( IX : 37 );

8. Perintah Allah, baik larangannya maupun suruhannya, tidak boleh digeser - geser. Yang haram mesti haram dan yang tetap wajib mesti tetap wajib;

9. Rosululoh tidak berhak menetapkan sesuatu bertentangan dengan kemauan ( penetapan ) Allah yang nyata ada termuat dalam kitabullah;

10. Ketetapan rosul yang diambilnya dalam ketiadaan ketetapan Allah, menjadi mansukit. Jika tidak bersesuaian dengan ketetapan Allah yang diturunkan kemudian ( tidak ada ayat Qur’an yang mansukh ).

11. Kesusilaan dan hukum dunia yang tidak bertentangan dengan kaidah - kaidah hukum agama, dapat terus berlaku;

12. Ulil amri hanya berhak leluasa menetapkan sesuatu yang tidak ada ketentuan kaidahnya dalam hukum agama seperti termuat dalam Qur’an dan sunah Rosul, asal saja ketetapan ulil’amri itu tidak bertentangan dengan sesuatu kaidah dalam hukum agama itu ( Qur’an dan Hadist );

13. Tugas dalam pembentukan hukum yang baru wajiblah dilakukan oleh ulil’amri melalui syu’ra;

14. Dalam menjalankan atau menerapkan hukum, maka ulil’amri berhak melakukan Qiyas yang induktif;

15. Peraturan atau keputusan yang ditetapkan oleh ulil’amri dapat dirubah atau dicabut oleh ulil’amri yang lebih tinggi.









MADZHAB DALAM HUKUM ISLAM

A. PENGERTIAN UMUM

Mazhab adalah sekelompok ummat (Islam) yang mempunyai pandangan, penghayatan, persepsi terhadap suatu ketentuan syariat yang masih bersifat umum (belum dirinci ketentuannya secara gamblang) secara berbeda dengan pemahaman dan penghayatan dengan kelompok Islam lainnya.

Perbedaan itu tidak sampai pada tingkat perselisihan, dan perbedaan itu terbatas hanya pada hal-hal hukum muamalah tidak berbeda terhadap taukhid dan aqidah, hanya dalam cara mencari kebenaran hakiki terhadap bagaimana sebaiknya dilakukan ummat untuk melaksanakan sesuatu syariat yang masih bersifat umum dan belum atau tidak dijabarkan baik dalam Al Qur’an maupun Hadits.

Menurut Rasulullah, perbedaan demikian itu adalah bagaikan rakhmat bagi ummat Islam untuk berlomba-lomba mencari kebaikan.

Timbulnya mazhab-mazhab disebabkan:
1. perbedaan penafsiran atas sesuatu ketentuan dalam Al Qur’an yang tidak dijabarkan secara gamblang;
2. perbedaan kemampuan penghayatan, lingkungan hidup yang berbeda dari imam-imam mazhab dan terutama sesuatu masalah belum diatur secara tegas dalam Al Qur’an maupun Hadits;

3. pada masa perkembangan Islam dihadapkan kepada berbagai latar belakang perbedaan kemampuan, struktur kemasyarakatan, lingkungan hidup, tata nilai yang berbeda di antara wilayah pengembangan Islam itu dengan wilayah dimana wahyu-wahyu Illahi diturunkan.

4. karena jarak waktu dan jarak geografis, yaitu antara turunnya wahyu yang belum sempat diketahui penyebar, begitu juga tempat lahirnya wahyu-wahyu serta Hadits dengan wilayah pengembangan Islam dahulu.

Muchtar Adam, timbulnya mazhab dalam Islam disebabkan perbedaan teknis pemahaman, beda kualitas serta kapasitas intelektual pada masing-masing pendiri dan pengikut mazhab-mazhab tersebut.

Prof. Dr. Syaikh Mahmoud Syaltout dalam bukunya, Muqaranatul Mazahib fi al-Fiqhi, sbb:

1. Karena perbedaan pengertian / persepsi
Hal ini dapat terjadi karena kata-kata (istilah-istilah) yang jarang dipakai adalah kata-kata mempunyai arti lebih dari satu. Ada makna majaz (kiasan) disamping makna hakiki.

2. Karena perbedaan riwayat hadits sampai pada sebagian, dan tidak pada sebagian lainnya, atau sampainya dengan cara tak memungkinkan hadits dipakai sebagai hujjah, sedangkan kepada lainnya sampai dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menjadi hujjah, atau sampai pada kedudukannya dari satu jalan.

3. Karena berlainan dalil mengenai qaidah ushul-fiqh sebagian menerima, sedangkan yang lain tidak menerimanya. Misalnya hadits ‘aam (umum) yang telah di-takhsis (khusus) tidak menjadi hujjah (argumen), dan qaidah mafhum tidak dapat menjadi hujjah. Demikian pula mengenai nasikh-mansukh.

4. Paham yang berlawanan (mafhum mukholafah) dan tarjih (memilih yang kuat), termasuk di dalamnya tentang nasakh dan takwil, dekat dan jauh, salah dan benar;

5. Adanya Qiyas, inilah lapangan yang paling luas perbedaan pendapatnya, terlebih sesudah datang ulama-ulama muta-akhirin yang memperluas tinjauan dan wawasan pemikirannya; serta Dalil-dalil yang diperselisihkan

B. TIGA KELOMPOK BESAR MADZHAB:

1. Golongan Ahlul-Sunnah
2. Golongan Syi’ah
3. Golongan Khawarij

ad. 1. Golongan Ahlul-Sunnah

Di bidang politik, Ahlul-Sunnah sepakat bahwa khalifah tidak mesti dari keturunan Fatimah r. a., sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa khalifah yang benar harus dari keturunan Fatimah putri Rasulullah SAW. di Ghadir Kum dalam hadits Tsaqalain yang diyakini kebenarannya oleh Syi’ah (hadis dhoif).

Di kalangan Ahlul-Sunnah sendiri terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa yang berhak menduduki jabatan khalifah. Sebagian berpendapat harus dari keturunan kabilah Quraisy, sedangkan yang lainnya membolehkan dari selain Quraisy.

Beberapa mazhab Ahlul-Sunnah berpendapat bahwa khalifah yang benar adalah yang berdasarkan baiat (pengukuhan berdasarkan sumpah setia) tanpa paksaan dari mayoritas umat, sementara mazhab-mazhab Ahlul-Sunnah yang lainnya membolehkan pengangkatan khalifah berdasarkan wasiat yang resmi setelah dibaiat.
Mereka sepakat pula bahwa khaliifah tidak boleh ganda (lebih dari satu) sementara kaum Khawarij membolehkan khalifah lebih dari satu orang.

Kesepakatan Ahlul-Sunnah lainnya adalah dalam penilaian kriteria kualitas para perawi (periwayat) hadits. Hadits yang dipandang sahih ialah hadis yang disampaikan oleh perawi yang dianggap:
(1) adil, (2) dabith (kuat hafalan dan cermat), (3) tanpa ada kelainan (sejarah), (4) tanpa cacat (illah qabihah), dan (5) Muslim.

Adapun Syi’ah cenderung menerima hadits dan lebih mengutamakan yang diriwayatkan oleh keturunan Nabi Muhammad SAW. (ahlul-bait), khususnya yang diriwayatkan melalui Ja’far al-Shadiq dari ayahnya, Muhammad al-Baqir, dari ayahnya, Zainal Abidin, dari ayahnya, Husain, dari ayahnya, Ali bin Abi Thalib menantu Rasulullah SAW., dan dari Rasulullah SAW.

Di kalangan Ahlul-Sunnah sendiri terdapat banyak perbedaan dalam memahami makna ayat-ayat Al Qur’an dalam hal sbb:
a. nasikh-mansukh (pembatalan hukum ayat tertentu oleh gantinya dari ayat lain),
b. pengutamaan penilaian hadits-hadits yang dipandang kuat,
c. batasan pemakaian qiyas (analogi dalam penetapan hukum),
d. pemahaman pengertian ijma’ (konsensus),
e. prinsip-prinsip pokok tasyri’ (penetapan hukum, legislasi).

Mazhab-mazhab Ahlul-Sunnah yang sampai saat ini masih bertahan ada empat, yaitu (1) mazhab Abu Hanifah, (2) mazhab Maliki, (3) mazhab Syafi’i, dan (4) mazhab Hanbali.

Ad. (1). Mazhab Abu Hanifah (Hanafiyah)
Imam Abu Hanifah mempunyai cara menetapkan hukum syariat berdasarkan dalil-dalil hukum Islam yang berdasarkan urutan sebagai berikut:

a. Al – Qur’an
Semua mazhab sepakat bahwa Al Qur’an adalah dalil hukum yang pertama dan utama. Walaupun demikian, mereka kadang-kadang berbeda pendapat dalam hal menafsirkan dan istinbath (menetapkan hukum ayat tersebut).

b. Al – Hadits
Hadits yang diterima olehnya adalah hadits masyhur (yang terkenal) yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang, bahkan lebih. Hadits ahad (yang hanya diriwayatkan oleh satu orang) tidak diterima sebagai dalil hukum. Dia lebih mengutamakan qiyas (analogi) daripada memakai hadits ahad.



c. Qiyas
Dia adalah ulama yang paling banyak menggunakan qiyas. Itulah sebabnya mengapa dia lebih dikenal sebagai Ahlul-Ra’yi (Rasionalis).

d. Istishan
Prinsip lebih mementingkan keadilan dan kebaikan secara mutlak.

e. Ijma’ para sahabat Nabi

Mazhab Hanafi ini dianut oleh sepertiga penduduk Irak (dua pertiga menganut Syi’ah). Kaum keturunan Turki pun bermazhab Hanafi. Demikian pula di Afganistan, Bukhara (di Uni Sovyet sekarang) dan Pakistan (di Pakistan minoritas adalah Syi’ah Ja’fari). Di India mayoritas umat Islamnya adalah pengikut mazhab Hanafi, demikian juga di Mesir.

Ad. (2). Mazhab Maliki (Malikiyah)
Mazhab Malikiyah mempunyai cara menetapkan hukum Syariat berdasarkan urutan dalil-dalil hukum Islam sbb:

a. Al – Qur’an
Ini sama dengan mazhab lainnya, hanya ada perbedaan-perbedaan dalam penafsiran ayat dan istinbath hukum daripadanya.


b. Al – Hadits
Termasuk hadits ahad dan atsar para sahabat yang sah meskipun tidak masyhur. Namun, contoh perbuatan penduduk Madinah dan ijma’ para ulama lebih didahulukan daripada hadits ahad.

c. Qiyas
Qiyas dilaksanakan kalau tidak ada hadits dan atsar sahabat yang sah.

d. Masha-lih al-mursalah
Yaitu prinsip mengutamakan kemaslahatan umum secara mutlak.

e. Ijma’
Ijma’ para ulama Madinah dianggap lebih kuat dan diutamakan daripada hadits ahad.

Mazhab Malikiyah ini dianut oleh semua penduduk Maroko, Mauritania, Mali, Aljazair, Tunisia, Libya, Mesir Hulu, Iskandariyah (Mesir), Bahirah (Mesir), Sudan Utara, Senegal, Pantai Gading (Ivory Coast), Siera Leon, Nigeria, dan sedikit di Mekkah serta Madinah.

ad. (3). Mazhab Syafi’i (Syafi’iyyah)
Imam Syafi’i memiliki cara menetapkan hukum syariat berdasarkan urutan dalil-dalil hukum Islam sbb:

a. Al – Qur’an
Juga sama dengan mazhab lainnya, hanya perbedaannya pada penafsiran ayat dan istinbath hukum daripadanya.

b. Al – Hadits
Hadits sahih atau hasan meskipun tidak masyhur. Hadits ini didahulukan daripada qiyas dan ijma’ para ulama Madinah.

c. Qiyas
Qiyas digunakan kalau tak ada nash (teks) Qur’an dan Hadits.

d. Ijma’
Ijma’ para ulama mujtahidin seluruhnya dalam satu masa – ijma’ ulama Madinah saja yang tidak digunakan menjadi dalil hukum.

Mazhab Syafi’i ini banyak dianut di Cairo (Mesir), daerah utara Mesir (kecuali Iskandariyah dan Bahirah), Somalia, Eritrea, Kenya di Afrika Timur, sebagian penduduk Zanzibar. Di benua Asia, Syafi’i tersebar di Syria, Libanon, sebagian panduduk Yaman Selatan, Emirat Arab (di Teluk Arab) kecuali Moskat dan Oman yang bermazhab Khawarij al-Ibad dan Qatar yang bermazhab Hanbali dan Wahabi. Mazhab Syafi’iyyah ini dianut juga oleh seluruh orang Kurdi, mayoritas penduduk Indonesia, Malaysia, dan India Selatan.
Pada masa ini Syafi’iyyah terpecah menjadi dua, yaitu mazhab Qadim (lama) yang mengikuti pendapat-pendapat lama Imam Syafi’i ketika masih tinggal di Masyriq, dan mazhab Jadid (baru) yang terbentuk ketika Imam Syafi’i telah pindah ke Mesir. Mazhab yang baru ini banyak merevisi pendapat Imam Syafi’i yang lama setelah dia menemukan hadits-hadits baru.

ad.(4). Mazhab Hanbali
Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan hukum syariat berdasarkan urutan dalil-dalil hukum Islam sbb:

a. Al – Qur’an
Sama pula keadaannya dengan mazhab yang lainnya.

b. Al – Hadits
Hadits sahih, hasan, atau dlaif, termasuk fatwa para sahabat Nabi. Ini semua didahulukan daripada qiyas.

c. Qiyas
Ini dilaksanakan hanya kalau terpaksa karena tak ada nash dari hadits, atsar, dan fatwa sahabat Nabi.

Mazhab Hanbali ini sekarang hanya tersebar sebagian besar di daerah Saudi Arabia dan Qatar. Penduduk Al-Ihsa dan Madinah menganut mazhab Syi’ah Ja’fariyah, dan sebagian lagi menganut mazhab Maliki.


Ad. 2. Golongan Syi’ah

Di kalangan Syi’ah banyak sekali terdapat mazhab. Akan tetapi, kebanyakan telah mati, misalnya mazhab Al-Sabaiyyah yang didirikan oleh Abdullah bin Saba yang menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai Tuhan, Ali bin Abi Thalib sebagai rasul, kemudian berpendapat bahwa malaikat Jibril telah salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad SAW. yang wajahnya mirip dengan Ali. Mazhab ini menyimpang dari Islam dan sudah tidak mempunyai pengikut lagi.

Adapun mazhab Syi’ah yang ada sekarang ini dapat diklasifikasikan menjadi sbb:

Pertama: yang menyimpang dari Islam antara lain:
Ismailiyah Agha Khan yang aqidah dan syariatnya mengikuti ajaran nafsu Agha Khan.

Druz yang mempertuhankan Al-Hakim bin Amrillah (khalifah dinasti Fatimiyah di Mesir). Muhammad SAW. dianggap bukan sebagai rasul, melainkan hanya sebagai reformer (mushlih).

Kedua: yang tidak keluar dari Islam meliputi antara lain:

= Ja’fariyyah (Imamiyah)
= Zaidiyah
= Ismailiyah al-Bahrah

Mazhab Ja’fariyah. Mazhab Syi’ah ini disebut Ja’fariyah karena mengikuti Ja’far al-Shadiq dan pendapat-pendapat ayahnya, Muhammad al-Baqir, keturunan keempat dari Nabi Muhammad SAW. Mazhab ini juga disebut mazhab Al-Itsna Asyariyah karena berkeyakinan bahwa khalifah (imam) yang berhak memimpin umat Islam itu ada dua belas orang dari keturunan (ahlul-bait) Nabi Muhammad SAW. berdasarkan wasiatnya yang diyakini mereka.

Ad. 3. Golongan Khawarij

Dalam bidang politik mazhab ini paling demokratis. Mereka tidak menentukan khalifah itu harus dari ahlul-bait dan tidak pula dari bani Hasyim atau Quraisy, tetapi hanya berdasarkan baiat. Mereka juga tidak menerima keabadian jabatan khalifah. Apabila khalifah menyeleweng dari konstitusi, maka ia boleh diturunkan. Dan jabatan khalifah ini boleh ganda, artinya setiap negeri boleh mempunyai khalifah sendiri.


ILUSTRASI PERBANDINGAN JUMLAH
SUMBER PENGAMBILAN DALIL-DALIL
HUKUM ISLAM PADA MAZHAB-MAZHAB

I. AHLUL – SUNNAH
Mazhab Hanafi


Mazhab Maliki



Mazhab Syafi’I



Mazhab Hanbali


Mazhab Dzahiri



II. SYI’AH

Imamiyah/
ItsnaAsyariah
WAJIBKAH KITA BERMAZHAB, MEMILIH, DAN MENGIKUTI SALAH SATU MAZHAB ?

Semua mazhab – Ahlul-Sunnah, Syi’ah, dan Khawarij – mendasarkan ijtihadnya pada metode-metode yang sah serta ketentuan-ketentuan hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan al-hadits.

Perbedaan pendapat yang terjadi adalah rahmat dan kemudahan bagi umat Islam karena memperkaya khazanah ilmu keislaman, semuanya menggali ilmu dari Rasulullah SAW.

Namun, sayang perbedaan pendapat tersebut telah mengakibatkan timbulnya perpecahan dikalangan ummat muta-akhkhirin (modern) para pengikut madzhab. Dalam perkembangannya, bahkan hampir saja di antara sebagian besar pengikut madzhab yang satu dengan yang lainnya saling mengkafirkan.

misalnya, Imam Ibn Hamz, hampir saja mengkafirkan Imam Abu Hanifah karena Abu Hanifah banyak menggunakan qiyas dalam menetapkan hukumnya. Ibn Hamz adalah seorang murid yang setia dari Daud al-Ashfahani.

Syaikh Izzudin Ibn Abdissalam yang menggambarkan keadaan para ulama muta-akhkhirin sbb:
“Di antara yang paling aneh ialah para ulama yang muqallid, di antara mereka ada yang mengetahui kelemahan tempat pengambilan dalil imamnya, tetapi ia tak dapat menyangkal kelemahan itu serta meninggalkan pendapat orang yang sesuai dengan Al-Qur’an dan al-sunnah, sedangkan Al-Qur’an dan al-sunnah itu ditakwilkan dengan takwil-takwil yang jauh dari Al-Qur’an dan al-sunnah serta batil demi mematuhi orang yang diikutinya.”

Adapun Imam Abu Syamah berpendapat sbb:
“Seyogyanya bagi orang-orang yang mempelajari fiqih, tidak hanya mencukupkan diri pada satu mazhab. Dan hendaknya ia mau membenarkan mana yang lebih dekat kepada dalil-dalil Kitab dan sunnah Rasul yang muhkam (jelas-tegas) mengenai suatu masalah.”

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka tidaklah wajib mengikuti hanya satu mazhab sebab menjadikan bermazhab hanya kepada salah satu mazhab yang empat itu sudah merupakan syariah baru yang tak ada dasarnya, baik dalam Al-Qur’an ataupun dalam al-sunnah.
Bahkan Imam Al-Maraghi berpendapat sbb:
“Boleh mengambil pendapat di luar mazhab yang empat sebagaimana saya berpendapat bahwa seorang qadhi (hakim) boleh memutuskan suatu perkara berdasarkan pendapat di luar mazhabnya.”

ARTI HUKUM ISLAM / SYARIAT / FIQH

Kata Hukum Islam tidak ditemukan sama sekali dalam al-Qur’an dan literatur hukum dalam Islam, ia merupakan terjemahan dari term “Islamic Law” dari literatur Barat. Terminologi Hukum Islam dalam penggunaan kesehariannya di Indonesia mengandung ambiguitas (kerancuan), antara pengertiannya sebagai padanan syari’ah di satu sisi, dan padanan fiqh, di pihak lain.

1. Syari’ah
Zarkowi Soejoeti mengutip dari al-Madkhal li Dirasah al Fiqh al-Islamy tulisan Yusuf Musa mengemukakan perbedaan fiqh dengan syari’ah dalam tiga aspek;

Pertama, perbedaan ruang lingkup cakupannya. Dalam perbedaan ini, syari’ah lebih luas cakupannya daripada fiqh. Syari’ah meliputi seluruh ajaran agama yakni mencakup keyakinan, akhlak, dan hukum bagi perbuatan, sedangkan fiqh hanya mengenai perbuatan saja.

Kedua, perbedaan pada subjeknya. Syari’ah, subjeknya al-Syari’ adalah Allah SWT, fiqh subjeknya manusia atau al-faqih. Syari'ah sebagai ciptaan Allah SWT bersifat sempurna (absolut), universal, dan abadi kebenarannya, sedangkan fiqh dapat berubah sesuai dengan pemahaman faqih karena faktor sosio-kultural dan konteks historisnya.
Ketiga, perbedaan pada mula-mula digunakannya kedua kata tersebut dalam term teknis. Kata syari’ah telah digunakan sejak awal sejarah Islam.

Kata Syari’ah disebut lima kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam: QS. al-Syura, 42 : 13, 21, al-A’raf, 7 : 163, al-Maidah, 5 : 48, dan al-Jasiyah, 45 : 18.

Adapun kata fiqh sebagai istilah teknis baru digunakan setelah lahirnya ilmu-ilmu keagamaan Islam pada abad kedua hijriyah.

Kata syari’ah secara harfiah artinya jalan ke tempat mata air atau tempat yang dilalui air sungai. Penggunaannya dalam al-Qur’an diartikan sebagai jalan yang jelas membawa kemenangan atau jalan raya kehidupan yang baik.

Jadi Syari’ah merupakan nilai-nilai keagamaan yang berfungsi mengarahkan kehidupan manusia. Apabila kita mengacu pada informasi al-Qur’an, ajaran-ajaran agama sebelum Islam - dalam pengertian teknis -, juga disebut syari’ah, karena bagi setiap umat, Allah SWT memberikan syariat dan jalan yang terang (QS. Al-Maidah, 5: 48).

Praktis ajaran-ajaran agama yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu, disebut juga dengan syari’ah, namun yang dimaksud dalam tulisan ini dengan kata syari’ah adalah semua aspek ajaran Islam secara khusus.

Mahmud Syaltut dalam buku al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, mendefinisikan syari’ah sebagai peraturan yang diturunkan Allah kepada manusia agar dipedomani dalam berhubungan dengan Tuhannya, dengan sesamanya, dengan lingkungannya, dan dengan kehidupan. Sebagai penjabaran dari aqidah, maka syari’ah tidak bisa lepas dari aqidah. Keduanya memiliki hubungan interdependensi (ketergantungan). Akidah tanpa syari’ah tidak menjadikan pelakunya muslim sejati, demikian juga akidah tanpa syari’ah adalah sesat.

Syari’at Islam diturunkan secara bertahap selama dua periode, Mekkah dan Madinah, dalam kurun waktu duapuluh dua tahun dua bulan dan duapuluh dua hari. Dalam kaitan ini muncul istilah tasyri’ (legislasi atau pengundangan), yang kelak menjadi istilah penting dalam kajian fiqh.

Secara teknis, syari’ah adalah produk atau materi hukumnya, tasyri’ adalah pengundangannya, dan subjeknya disebut Syari’ (Allah SWT). Dari sinilah barangkali Abd al-Wahab Khalaf mereduksi pengertian syari’ah sebagai titah (khitab) Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf – muslim, dewasa dan berakal sehat- baik berupa tuntunan, pilihan atau perantara (sebab, syarat, atau penghalang). Jadi konteksnya adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (amaliyah).

2. Fiqh

Kata Fiqh dalam Al-Qur’an disebut dalam bentuk kata kerja (fiil) sebanyak 20 kali. Penggunaannya, fiqh berarti memahami (QS. Al-An’am, 6:65, al-A’raf, 7:179, al-Anfal, 8:65, at-Taubah, 9:81, 87, 127, dan al-Munafiqun, 63:3).
Secara harfiah, fiqh artinya faham. Berbeda dengan ‘Ilm, yang artinya mengerti. Jika ilmu diperoleh dengan wahyu atau penalaran, maka fiqh sangat menekankan pada penalaran, meskipun secara epistemologis ia terikat dengan wahyu.

Pada mulanya kata fiqh, mencakup pemahaman terhadap persoalan apa saja, tidak terbatas hanya pada persoalan hukum, tetapi juga segala aspek ajaran keagamaan, baik keyakinan maupun sikap dan perbuatan, moral, dan hukum.

Perkembangannya kemudian, term fiqh menjadi istilah teknis yang ruang lingkupnya terbatas pada hukum-hukum praktis (‘amali) yang diambil secara deduktif dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Jadi, fiqh tidak saja sebagai suatu proses yang secara epistemologis kelak melahirkan ‘Ilm Usul al-Fiqh, dan produk penalaran seseorang ( faqih), tetapi ia telah berkembang sebagai suatu disiplin ilmu yang menjadi objek kajian. Sebagai produk pemikiran hukum,menurut Abd al-Wahab Kahalaf, fiqh adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.

Menurut ZarKowi Soejoeti, terjadinya perubahan radikal dalam penggunaan term teknik fiqh, yang semula sebagai aktivitas penalaran perseorangan yang subjektif dan mencakup seluruh aspek agama, menjadi suatu ilmu yang objektif, yakni ilmu hukum, adalah karena tuntutan sejarah.

Kaum muslimin menaruh perhatian besar dalam masalah fiqh, dibanding dengan bidang-bidang lainnya. Kenyataan ini menurutnya, berhubungan dengan kebutuhan yang besar terhadap hukum dalam kehidupan masyarakat Islam yang baru lahir.

Selain itu, boleh jadi juga karena rasa ingin tahu terhadap masalah-masalah teologi dan dasar-dasar moral belum tumbuh di kalangan ulama, dan hadits Nabi SAW yang menganjurkan agar selalu memelihara sikap menghindari mendiskusikan masalah-masalah Ketuhanan terkait tentang dzat Allah SWT.

Amir Syarifuddin mengemukakan pengertian fiqh sebagai berikut:
- bahwa fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’
bahwa yang dibicarakan fiqh adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah.
- bahwa pengetahuan tentang hukum syara’ itu didasarkan kepada dalil yang tafsili (rinci),
- bahwa fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal (penggunaan dalil) oleh mujtahid atau faqih.

Fiqh sebagai hasil formulasi dari aktivitas penalaran manusia dalam memahami al-Qur’an dan al-Sunnah, ia dapat - dan dalam batas tertentu sebagai keharusan - menerima perubahan dan pembaharuan, akibat dari perbedaan ruang dan waktu. Sebagai contoh, Muhammad Idris al-Syafi’i (150-204 H/ 767-819 M) dikenal mempunyai qaul qadim ketika beliau tinggal di Irak, dan setelah migrasi ke Mesir pendapat-pendapatnya mengenai fiqh sebagian ada yang mengalami perubahan yang dikenal qaul jadid.

Dari sinilah Hukum Islam memiliki elastisitas dan fleksibilitas yang tinggi, dibangun atas dasar universalitas syari’ah yang cocok untuk segala situasi dan tempat.
3. Hukum Islam

Istilah hukum Islam terdiri dari dua; kata hukum dan Islam. Kata hukum memiliki beragam pengertian.

Menurut Hooker hukum adalah setiap peraturan atau norma dimana perbuatan-perbuatan terpola.

Blackstone berpendapat hukum adalah suatu peraturan bertindak dan diterapkan secara tidak pandang bulu kepada segala macam perbuatan, baik yang bernyawa maupun tidak, rasional maupun irasional.

McDonald, hukum adalah seperangkat peraturan tentang tingkah laku yang diakui oleh suatu negara atau masyarakat yang berlaku dan mengikat seluruh anggotanya.

Islam secara harfiah berarti menyerahkan diri, selamat, atau juga kesejahteraan. Maksudnya, orang yang mengikuti Islam akan memperoleh keselamatan dan kesejahteraan dunia dan akhirat. Mahmud Syaltut berpendapat, Islam adalah agama Allah SWT yang dasar-dasar dan syariatnya diturunkan kepada Muhammad SAW, dan dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan mengajak mengikuti kepada seluruh umat manusia.
Jika kedua kata ini digabungkan, maka pengertian Hukum Islam dapat disimpulkan sebagai hukum yang diturunkan Allah SWT melalui Rasul-Nya, untuk disebarluaskan dan dipedomani umat manusia guna mencapai tujuan hidupnya, selamat di dunia dan sejahtera di akhirat.

Hasby Ash-Shiddieqy, Hukum Islam adalah koleksi daya upaya fuqaha (para ahli hukum) untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat.”

Hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah SWT dan sunnah Rasul-Nya tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam.

Kedudukan hukum Islam sangat penting dan menentukan pandangan hidup serta tingkah laku umat Islam. Kata hukum Islam merupakan formulasi dari syari’ah dan fiqh sekaligus. Artinya meskipun hukum Islam merupakan formula hasil aktivitas nalar, ia tidak dapat dipisahkan dari eksistensi syari’ah sebagai panduan dan pedoman yang datang dari Allah sebagai Al-Syari’.

Soejoeti seperti dikutip Ahmad Rofiq, menjelaskan pemikiran H.M.Rasyidi yang intinya:
Konsep hukum menurut ahli fiqh pada dasarnya terletak di atas ide bahwa hukum itu bersifat keagamaan. Sejak periode paling awal sejarah Islam, hukum telah dipandang sebagai keluar dan merupakan dari syari’ah.

Adapun syari’ah sebagaimana telah dijelaskan, adalah pola tingkah laku manusia yang diatur oleh Allah SWT. Konsep hukum itu harus bersumber langsung atau tidak langsung dari wahyu Tuhan, yaitu al-Qur’an dan penjelasannya dari Nabi SAW yangn disebut sunnah.

Berdasarkan pengamatan Zarkowi Soejoeti, terdapat empat ciri-ciri atau karakteristik Hukum Islam:
- Hukum Islam itu merupakan aturan-aturan yang ditarik atau yang merupakan hasil pemahaman dan deduksi dari ketentuan-ketentuan yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW; karena itu sumber utama Hukum Islam adalah al-Qur’an daan al-Sunnah ditambah dengan nalar manusia (ra’yu) atau ijtihad yang diperlukan untuk memahaminya. Dengan demikian, Hukum Islam seringkali tidak identik dengan hukum dalam pengertian aturan yang dibuat oleh suatu badan yang diberi wewenang dan diberlakukan dengan sanksi oleh negara. Demikian pula bukan aturan tingkah laku yang dibentuk oleh adat istiadat yang dipaksakan berlakunya oleh opini publik.
- Hukum Islam bersifat keagamaan, berlandaskan pada keimanan dan akhlak mulia, karena itu tujuan Hukum Islam tidak hanya melindungi hak dan kewaajiban masyarakat, melainkan juga bertujuan untuk menciptakan kehidupan beragama, bermoral, berkeadilan, tertib dan menciptakan kesejahteraan hidup duniawi dan ukhrawi.

- Hukum Islam tidak selamanya bersifat memaksa, sebagian darinya bersifat korektif dan persuasif, memberi kesempatan kepada pelanggarnya untuk menyesali diri (taubah) dan mengubah tingkah lakunya kaarena sadar akan kesalahannya. Hukuman seperti ini dikenal dengan istilah ta’zir. Hanya kejahatan-kejahatan berat yang mengganggu ketentraman masyarakat dihukum berat yang disebut hadd, untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, seperti; membunuh, menganiaya, zina, merampok.

- Ruang lingkup hukum Islam meliputi seluruh jenis perbuatan, baik dalam berhubungan dengan Tuhan, maupun dengan diri dan sesamanya (ibadat dan muamalat). Pembagian ini didasarkan pada perbedaan-perbedaan dalam tujuan spesifik masing-masing dari bagian-bagian Hukum Islam tersebut. Ibadat adalah pernyataan syukur kepada Allah SWT, dan mendekatkan diri kepada-Nya (taqarrub) serta mengharapkan pahala di akhirat. Adapun muamalat, tujuan pokoknya adalah mewujudkan berbagai kemaslahatan manusia dalam pergaulannya di dunia.

Dengan uraian di atas, cukup jelas bahwa Hukum Islam adalah padanan dari al-fiqh al-Islamy, yaitu hasil kerja intelektual dalam upaya memahami dan memformulasikan pesan yang dibawa Rasulullah SAW yang tertuang dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Untuk itu al-Qur’an dan al-Sunnah disebut dengan sumber hukum (masadir al-tasyri’ al-Islamy).


EMPAT RAGAM PRODUK PEMIKIRAN ISLAM

Pertama adalah fiqh yang sudah penulis uraikan.

Kedua, putusan pengadilan (al-qada’ atau al-hukm), yaitu ucapan (dan atau tulisan) penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang diberi wewenang untuk itu. (al-wilayah al-qada’).

Sebagian ulama mendefinisikan keputusan pengadilan (al-qada) sebagai ketetapan hukum syar’i yang disampaikan melalui seorang qadi (hakim) yang diangkat untuk itu, sehingga idealnya seorang hakim harus juga seorang mujtahid. Pentingnya ketepatan putusan pengadilan agar sesuai dengan hukum syara’ adalah karena keputusan pengadilan bersifat mengikat dan juga memiliki nilai rujukan bagi hakim lain dalam memutus perkara serupa (yurisprudensi). Dalam batas tertentu putusan pengadilan memiliki sifat yang dinamis, karena kaya dengan ijtihad.

Ketiga, fatwa, yaitu hasil ijtihad seorang mufti atau kelembagaan sehubungan denga peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Fatwa lebih khusus dari fiqh dan ijtihad secara umum, sehingga bisa jadi apa yang difatwakan oleh mufti sudah dibahas dalam fiqh, namun belum dipahami oleh peminta fatwa. Fatwa sifatnya kasuistik dan tidak mengikat, artinya peminta fatwa tidak harus mengikuti isi fatwa yang diberikan kepadanya. Fatwa bisa disejajarkan dengan opini hukum (legal opinion).

Keempat perundang-undangan, yaitu peraturan yang dibuat oleh suatu badan legislatif (al-sultah al-tasyri’iyah) yang mengikat setiap warga negara dimana undang-undang itu diberlakukan, yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Di Indonesia hukum di bidang keperdataan telah mengikuti dan sebagian besar sesuai dengan hukum syara’, khususnya hukum nikah, talak, waris dan wakaf telah diatur dalam perundang-undangan tersendiri yang menjadi hukum positif.

Allah SWT berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (QS: Al-Anbiya :107).

Maksud ayat di atas, bahwa Allah Ta’ala tidak mengutus Rasulullah SAW melainkan untuk menyelamatkan manusia dari kebodohan, mambimbing mereka dari kebodohan, melarang mereka dari maksiat, dan mendorong mereka kepada ketaatan.

















SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

A. Perkembangan Hukum Islam Di Negara Asalnya.

Menurut Ahmad Hanafi
1. Masa Permulaan (610 -632 M)
2. Masa Persiapan / Khulafaur Rashidin (632-662 M)
3. Masa Pembinaan dan Pembukuan (Abad VII-X M)
4. Masa Kelesuan Pemikiran / Kemunduran (Abad X M- XIX M)
5. Masa Kebangkitan Kembali (Abad XIX M- s. d. sekarang)

Ad.1. Masa Permulaan (610 -632 M)/1-10 H

= Pada masa/fase/tahap ini, yaitu 10 tahun terakhir dari kehidupan Nabi Muhamad SAW. Ini merupakan jaman terpenting dalam hubungannya dengan kedua sumber dari Hukum Islam yaitu Qur’an dan Hadist.

= Nabi Muhamad telah menaklukkan Madinah dan Mekah, dan selam beberapa tahun terakhir dari kehidupannya beliau sendiri memikul tugas peundang-undangan.

= Spt kita ketahui, sebagian besar dari ayat-ayat hukum dalam Qur’an difirmankan pada waktu itu, yang keseluruhannya dicatat dan dipelihara dengan baik.

Dari wahyu-wahyu tersebut terdapat ayat-ayat hukum (menurut penelitian Abdul Wahab Khallaf seorang Guru Besar Hkm Islam di Univ. Kairo):

=
br/>Ayat-ayat hukum mengenai Muamalah jumlahnya 228 ayat ( -/+ 3 % dari Al Qur’an).

Ayat-ayat hukum ini tersebar di dalam berbagai surat sehingga untuk memahaminya secara baik diperlukan suatu metode dan keakhlian khusus.

Menurut Prof. Hazairin, metode yang terbaik untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al Qur’an itu adalah Metode Otentik, yakni:

“metode perbandingan langsung antara semua ayat-ayat yang ada sangkut pautnya satu dengan yang lain dengan persoalan pokok masalah yang dibicarakan”.
Misalnya:
Ayat-ayat mengenai perkawinan kewarisan dsb. Harus dihubungkan sedemikian rupa walaupun letaknya berbeda dalam jarak yang jauh di dalam konteks ayat-ayat yang bersangkutan.

Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al Qur’an itu tersebar, sbb:

1. H. keluarga (70 ayat)
- H. Perkawinan
= S 2 ; 221, 230, 232, 235 ;
= S 4 : 3, 4, 22, 23, 24, dan 25, 129;
= S 24 : 32, 33;
= S 60 : 10, 11;
= S 65 : 1 dan 2.

- H. Kewarisan
= S 2 : 180 dan 240;
= S 4 : 7-12, 32, 33 dan 176
= S 33 : 6.

2. H. Perdata (70 ayat)
= S 2 280, 282, 283;
= S 8 : 56 dan 58.

3. H. Ekonomi Keuangan/ H. Dagang (10 ayat )
= S 2 : 275, 282, 284;
= S 3 : 130;
= S 4 : 29;
= S 83 : 1 – 3.

4. H. Pidana ( 30 ayat)
= S 2 : 178 dan 179;
= S 4 : 92 dan 93.
= S 5 : 33, 38 dan 39;
= S 24 : 2;
S 42 : 40.

5. HTN (10 ayat)
= S 3 110, 159;
= S 3 104;
= S 4 : 59;
= S 42 : 38.

6. H. Internasional ( 25 ayat)
= S 3 : 190- 193;
= S 8 : 39 dan 41;
= S 9 : 29 dan 123;
= S 22 : 39 dan 40.

7. H. Acara dan Peradilan (13 ayat)
= S 2 : 282;
= S 4 : 65 dan 105;
= S 5 : 8;
= S 38 : 36.

Contoh : Peristiwa Mursid Ghanawi dan Kasus janda Sa’ad Bin Rabi’





Ad 2. Masa Persiapan / Khulafaur Rashidin (632-662 M)/ 10 – 40 H. (setelah Rasululah wafat).

- mempunyai arti penting dari sudut hukum;
- jaman /masa pemerintahan Khulafaurasidin.

a. Abu Bakar (632 – 634 M) hanya 2 tahun
jasa-jasanya yang perlu diketahui:
- Menumpas orang yang mengaku nabi /palsu (Tulaiha dan Musailimah);
- melakukan ekspansi ke Mesopotamia;
-.mengumpulkan surah-surah Qur’an, atas anjuran Umar.
- pidato pengukuhannya:
“aku telah kalian pilih sbg khalifah, kepala negara ttpp aku bukanlah yang terbaik diantara kita sekalian. Karena itu jika aku melakukan sesuatu yang benar ikuti dan bantulah aku, ttp jk aku melakukan kesalahan, perbaikilah, sebab, - menurut pendapatku - menyatakan yg benar adalah amanat, membohongi rakyat adalah penghianatan….ikutilah perintahku selama aku mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, jk aku tdk mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya, kalian berhak utk tdk patuh kepdku dan akupun tidak akan menuntut kepatuhan kalian”.

Setelah 2 tahun menjadi khalifah, maka atas persetujuan para pemuka agama dan para sahabat, ia mengundurkan diri. Kmd ditunjuk Umar, sebagai penggantinya, dan pada waktu itu juga Abu Bakar wafat.

b. Umar ( 634 – 644 M / 13-23 H)
Umar pun seorang yang sederhana, sbg khalifah ke 2 ia melakukan tugasnya selama 10 tahun.
- sikapnya tidak ingin menonjolkan diri;
- terhadap masalah kenegaraan dalam hubungannya dengan rakyat, kalau terjadi peristiwa hukum selalu selalu ditangani secara bijaksana, obyektif dan adil dalam memberikan keputusan.
- Ia melanjutkan ekspansi sampai ke Palestina, Syria, Irak dan Persia serta mesir.
- menetapkan tahun Islam yang terkenal dgn Tahun Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (qomariyah). Dibandingkan dgn Tahun Masehi ( Maladiyah) yg didasarkan pada peredaran matahari (syamsiah), tahun hijriyah lebih pendek. Perbedaannya setiap tahun adalah 11 hari, sekian jam, sekian menit. Oleh krn itu, tiap tahun permulaan puasa, misalnya, bergeser 11 hari lebih dahulu dari tahun sebelumnya. Penetapan tahun Hijriyah ini dilakukan pada tahun 638 M dgn bantuan para ahli ilmu hisab (hitung) pada waktu itu. Dimulai sjk Nabi Muhamad hijrah ke Medinah.
- membiasakan shalat tarawih.



c. Usman Bin Affan (644-656 M / 23-35 H )
melalui pemilihan, Usman terpilih menjadi khalifah menggantikan Umar.
- sikap Usman yg lunak serta pendiriannya kurang mantap menimbulkan kekacauan di kalangan rakyat dan tentara, shg timbul kelompok oposisi.
- ia melaksanakan pengkodifikasian Al Qur’an yg tlh dirintis sejak jmn Abubakar dgn menugasi Zaid Bin Tsabit Dkk.
- sblm usaha penyatuan kembali umat Islam berhasil, tgl 17 Juli 656 M Usman meninggal, akibatnya perpecahan tdk terelakan, yi:
= pusat negara Arab diperintah oleh Khalifah;
= wilayah-wilayah otonomi banyak yg dipimpin oleh tentara Arab.

d. Ali Bin Abi Thalib (656 M-662 M / 35- 41 H)
- Ali dipilih dan disumpah oleh rakyat sbg khalifah.
- krn negara keadaannya tdk stabil, mk terjadi perpecahan menjadi 2 kelompok:
= kel. Ali yg didukung oleh Gol. Syiah berpendirian bahwa yg berhak menjadi khalifah adalah keturunan N. Muhamad
= kel. Muawiyah dgn dukungan org Syiria menganggap pemerintahan kaum muawiyah yg sah utk melanjutkan khalifah Usman.
Hal ini menimbulkan peperangan yg kemudian diakhiri dgn perdamaian diantara kedua belah pihak.
- pd masa khalifah Ali timbul gol politik Islam, a.l:
= Gol Ahlul Sunah
= Gol. Khawarij
= Gol. Syiah
Ali meninggal pd tahun 661, kmd pengikut Ali mengangkat Hasan (putra sulung Ali) tapi tdk bertahan lama, Hasan mengundurkan diri pada waktu itu jg.
- Sjk saat itu mulailah pemerintahan Muawiyah dari suku Umayah bersama pengikutnya selama 90 tahun (661- 750 M) sampai 14 kali pergantian khalifah, s.d. khalifah Marwan II.

Ad. 3 Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (abad VII- XX M/ 40 H- abad ketiga H.)

- Pada masa ini Marwan II (dinasti Muawiyah) meninggal, kmd digantikan dinasti baru Bani Abbas (kaum Abassiyah), yg memindahkan Ibu negeri Islam ke Baghdad (Irak) ;
- Seorang umayah meloloskan diri (Abdurrahman), lari ke Spanyol dan thn 138 H/765 M membentuk khalifah baru yg berkedudukan di Chordova. Chordova mencapai kebesarannya pada masa Abdurahman III yg bijaksana dan penuh kedamaian (912- 961 M). Kh. Chordova berakhir dgn dijatuhkannyapd thn 1236 M dalam Perang Salib, akan ttp Islam dan pemikiran-pemikirannya makin meluas ke setiap penjuru dunia.
- timbulnya imam dlm jumlah banyak, ttp yg masih mempunyai pengikutnya hanya; Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafei dan Imam Hambali.
- tersusunnya kitab-kitab hadist (Al kutub as Sittah/ 6 kiba hadist), yi:
Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, At Tarmidzi, An Nasa’i.

Ad. 4 Masa Kelesuan Pemikiran (abad X-XI-XIX M)

- terjadi dipenghujung pemerintahan/dinasti Abbasiyah, para ahli hukum hanya membatasi diri mempelajari fikiran-fikiran para ahli sebelumnya yg tlh dituangkan ke dalam buku berbagai madzhab. Mulailah mengikuti saja para ahli sebelumnya (ittiba-taqlid), jd tdk lagi menggali hukum/fiqh Islam dari sumbernya yg asli, ttp hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yg tlh ada dlm madzhabnya masing-masing.

Ad. 5 Masa Kebangkitan Kembali (abad XIX s.d. sekarang)

- Stlh mengalami kelesuan, kemunduran beberapa abad lamanya, pemikiran Islam bangkit kembali, terjadi pada bagian kedua abad ke XIX.
- kebangkitan kembali pemikiran Islam timbul sbg reaksi thdp sikap taqlid yg tlh membawa kemunduran Hukum Islam.
- Muncullah gerakan-gerakan baru para ahli hukum yg menyarankan kembali kpd AQ dan Snh, yg disebut gerakan Salaf (Salafiyah) yg ingin kembali kpd kemurnian ajaran Islam di jaman Salaf (permulaan), generasi awal dahulu.
Contohnya, a,l,:
H. Islam diajarkan di Inggris Univ. of London, Harvard, Megill, Temple, Chicago); KAA di Bdg thn 1955, slh satu resolusinya yi. Menganjurkan diterbitkan Ensiklopedi Hukum Islam yg dpt digunakan oleh umat Islam sbg pegangan dlm hidup dan kehidupannya sehari-hari, dan di Indonesia tlh membuat Kompilasi H. Islam (skrg sdg direvisi).


B. PERKEMBANGAN H. ISLAM DI NEG. INDONESIA

Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, SHI adalah system hukum yg berlaku, H. Islam itu sendiri merupakan subsistem hukum Indonesia yg ada dan berlaku. Sistem hukum Indonesia adalah system hukum yg majemuk krn berlaku berbagai system hukum, yi.: adat, Islam dan Barat (kontinental)

Ketiga system hukum tsb, sebagian dari sekurang-kurangnya lima system hukum besar di dunia, yaitu:

1. Sistem Common Law, yg dianut di Inggris dan bekas jajahannya, yg kini umumnya bergabung dlm negara-negara Persemakmuran;

2. Sistem Civil Law, berasal dari Hkm. Romawi, yg dianut di Eropa barat Kontinental dan dibawwa ke negeri-negeri jajahan /bekas jajahan oleh pemerintah kolonial Barat dahulu;

3. Sistem Hukum Adat, di negara-negara Asia dan Afrika;

4, Sistem Hukum Islam, dianut oleh orang-orang Islam dimanapun mereka berada, baik di negara-negara Islam maupun negara-negara lain yg penduduknya beragama Islam di Afrika Utara, Timur, di Timur Tengah dan Asia;

5.Sistem Hukum Komunis/Sosialis, dilaksanakan di negara Komunis/sosialis spt.Uni Sovyet (Rusia) dan satelit-satelitnya dahulu.

Perkembangan H.I. di Indonesia dpt dibedakan:

1. Jaman kolonial (penjajahan)

Berbeda dengan sebagian negara Arab dan negara-negara tertentu di afrika yang sebagian besar penganutnya beragama Islam telah berhasil membuat peundang-undangan yang mengakomodasi hukum syara’ sebagai hukum positif, beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mayoritas penduduknya juga beragama Islam tidak dapat menjalankan syariat Islam sebagai hukum positif sepenuhnya.

Hal ini sebagian besar diakibatkan oleh proses kolonialisasi negara-negara Eropa, yang selain mengeruk kekayaan negara jajahan, juga telah menghancurkan identitas negara bersangkutan, dan diganti nilai-nilai baru sesuai keinginan penjajah. Selain itu juga pengaruh gazwul fikri (perang pemikiran) yang tidak henti-hentinya didengungkan sampai sekarang mempersoalkan dasar-dasar moralitas, efektifitas, dan aktualitas Hukum Islam ditengah arus modernisasi.

Hukum Islam telah lama hidup dalam kesadaran hukum masyarakat Islam di Indonesia, seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Ada tiga teori utama yang mencoba menjelaskan kapan awal mula kedatangan Islam di Indonesia.

Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje dalam bukunya L’arabie et les Indes Neerlandaises, mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India seperti Gujarat, Bengali dan Malabar. Teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab pada masa awal, yakni abad 12 dan 13 masehi. Selain itu menurutnya teori ini didukung dengan fakta telah adanya hubungan erat yang terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India jauh sebelum kehadiran agama Islam.

Teori ini pertamakali dikemukakan oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden, yang dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje, kemudian banyak diikuti oleh para sarjana barat lainnya.

Teori kedua menyebutkan bahwa Islam datang ke Indonesia, dibawa oleh orang-orang Persia (sekarang wilayah Iran dan Iraq) pada abad ke 13. Teori ini diasumsikan berdasarkan adanya kesamaan budaya antara beberapa kelompok masyarakat Islam di Nusantara dengan penduduk Persia (syi’ah). Misalnya saja peringatan 10 Muharam yang merupakan peringatan wafatnya Hasan dan Husein cucu Nabi SAW. Di beberapa tempat di Sumatera Barat ada tradisi Tabut, yang berarti keranda, yang juga merupakan peringatan Hasan dan Husein. Teori ini juga mengklaim adanya bahasa serapan yang diyakini berasal dari bahasa Iran (Persia) dalam budaya Islam, misalnya kata jabar dari zabar, jer dari ze-er.



Teori ketiga yaitu teori Arabia, mencoba menjelaskan bahwa Islam di bawa ke Indonesia oleh orang-orang Arab dari Mekkah atau Madinah pada masa pemerintahan Khulafaur-Rasyidin, atau sekitar abad ke 7 masehi. Sumber literatur Cina menyebutkan pada seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab muslim di pesisir Sumatera. Dalam kitab sejarah Cina, Chiu T’hang Shu, disebutkan pernah ada kunjungan diplomatik orang-orang Ta Shih (sebutan untuk orang Arab) pada tahun 651 Masehi/ 31 Hijriyah.

Empat tahun kemudian datang pula utusan dari Tan mi mo ni (sebutan Amirul Mukminin menurut istilah Cina) Utsman bin Affan. Catatan-catatan ini menunjukkan bahwa sejak permulaan kehadiran Islam, sudah terjalin hubungan dagang dan diplomatik antara orang-orang Arab dengan masyarakat Asia lainnya seperti India, Cina dan kepulauan Nusantara.

Sebuah literatur Arab Kuno berjudul Aja’ib al Hind karya Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi memberikan gambaran bahwa pada sekitar tahun 1000 Masehi terdapat perkampungan-perkampungan muslim di wilayah Kerajaan Sriwijaya.

Ibn Abd al Rabbih dalam tulisannya al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII” menyebutkan ada proses korespondensi antara raja Sriwijaya saat itu Sri Indravarman dengan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terjadi pada sekitar tahun 100 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 718 Masehi.

Bahkan dalam salah satu suratnya Sri Idravarman menyatakan ketertarikan untuk mempelajari Islam dan meminta dikirim ulama yang dapat menerangkan ajaran Islam kepadanya, meski tidak diketahui apakah kemudian ia masuk Islam atau tidak.

Setelah nilai-nilai Islam cukup kuat ter-internalisasi dalam kehidupan masyarakat Nusantara, maka mulailah berdiri kerajaan-kerajaan berdasarkan Syariat Islam. Kerajaan Islam yang pertamakali berdiri adalah Kerajaan Samudera Pasai dan Kerajaan Perlak di sekitar Aceh dan selat Malaka.

Kemudian barulah berdiri kerajaan-kerajaan Islam lainnya di seluruh wilayah nusantara seperti: di Jawa berdiri kerajaan Giri, Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel, Pajang, Mataram, Banten dan Cirebon; di Sumatera berdiri Kerajan Palembang; di Kalimantan berdiri Kerajaan Banjar; di Sulawesi berdiri kerajaan Bone, Goa, Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo; di Maluku berdiri kerajaan : Ternate, Tidore dan Bacan; kerajaan-kerajaan seperti Bugis dan Maluku dengan misi pelayaran dan dakwah mampu mempengaruhi wilayah lainnya sehingga Islam dapat diterima di Nusa Tenggara, yaitu Bima, Sumbawa dan Lombok, juga sebagian kecil wilayah Papua yang masuk dalam administrasi kerajaan Maluku.

Hukum Islam pernah diterima oleh masyarakat dan berlaku di Indonesia, dengan fiqh syafi’iyah sebagai rujukan hukum yang utama. Hal ini menurut Rahmat Djatnika, dikarenakan fiqh syafi’iyah lebih banyak memiliki kedekatan dengan kepribadian Indonesia.

Pada zaman Kesultanan Islam, Hukum Islam sudah diberlakukan secara resmi sebagai hukum negara, misalnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh, atau pemerintahan Sultan Agung di Mataram, meskipun dalam bentuk yang sederhana.

Di daerah Bone dan Goa dipergunakan Kitab Muharrar, selain itu Nuruddin al-Raniry (W 1077H/1666M) dari Aceh menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan yang lurus) tahun 1628 M, yang kemudian menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan permasalahan hukum masyarakat Islam pada saat itu.

Di Kerajaan Banjar Syeikh Arsyad al-Banjary menulis buku Sabil al-Muhtadin (jalan orang-orang yang mendapat petunjuk) yang merupakan komentar atas kitab Sirat al-Mustaqim dan menjadi rujukan hukum di Kerajaan Banjar.

Atas dasar penerimaan Hukum Islam sebagai norma hukum yang berlaku dalam masyarakat, maka muncullah teori Receptio in Complexu yang diintrodusir oleh Christian van den Berg (1845-1927). Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Salomon Keyzer (1823-1868) yang membiarkan Hukum Islam berlaku bagi orang Islam. Mereka menyatakan bahwa hukum mengikuti agama yang dianut seseorang.

Pada awal abad ke-19 pejabat pemerintah kolonial telah mencurigai umat Islam, bahkan Ketua Mahkamah Agung Belanda pada saat itu, Scholten van Oud Harlem menasihati agar pejabat Hindia Belanda barhati-hati. Namun demikian ia tetap menegaskan sesuai pasal 75 Regering Reglement, bagi kaum Muslimin tetap diberlakukan hukum agamanya secara terbatas pada masalah perkawinan, waris, wakaf dan sejenisnya yang termasuk bagian Hukum Perdata Islam dan urusan keagamaan.

Sementara itu untuk hukum publik khususnya Hukum Pidana, sejak kekuasaan VOC menguat pengaruhnya hingga Hindia Belanda diserahkan ke tangan kerajaan Belanda, dibuat undang-undang tersendiri berdasarkan standar Hukum Belanda.

Kompensasi dari wujud kecurigaan tersebut, pemerintah kolonial mengintrodusir istilah het indische adatrecht (hukum adat Indonesia) yang dikemukakan pertamakali oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933). Gagasan ini dikembangkan lebih lanjut oleh penasihat pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri jajahan, Christian Snouck Hurgronje (1857-1936). Dalam gagasan mereka, intinya bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah Hukum Adat mereka masing-masing. Hukum Islam berlaku apabila telah diresepsi atau diterima oleh Hukum Adat tadi. Jadi, Hukum Adatlah yang menentukan berlaku tidaknya Hukum Islam. Dari pendapat inilah lahir teori Receptie.

Snouck Hurgronje mengatakan Islam di Indonesia terbagi kepada Islam agama dan Islam sebagai doktrin politik, dalam bentuk agitasi kaum fanatik setempat, maupun dalam bentuk Pan-Islam. Terhadap yang pertama, ia menawarkan sikap ‘toleransi’ yang dijabarkan dalam sikap netral terhadap kehidupan keagamaan.

Sebaliknya, apabila kelihatannya mengandung ’sifat-sifat politik’, maka harus dibereskan dengan kekerasan. Setiap campur tangan dalam masalah yang berhubungan dengan Islam dari luar negeri harus dipangkas di pangkalnya. Muatan pokok politis dari teori receptie ini menurut Deliar Noer adalah divide et impera yang bertujuan untuk menghambat dan menghentikan meluasnya Hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung kepentingan kolonialisme.

Di Aceh, Hurgronje berhasil mengkonfrontasikan antara ulama dengan uleebalang. Prof. Hazairin berpendapat bahwa teori receptie tidak sejalan dengan iman orang Islam, karena dengan teori ini orang Islam diajak untuk tidak mematuhi al-Qur’an dan al-Sunnah. Jelas sekali, tujuan teori receptie adalah merintangi kemajuan Islam di Indonesia.

Bentuk nyata dari keberhasilan teori receptie dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah kolonial adalah dengan adanya Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling yang berbunyi :

“ Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh Hukum Adat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi “.


2. Jaman kemerdekaan

Pengaruh teori receptie cukup besar hingga saat ini sesudah Indonesia merdeka. Kenyataan ini bisa terlihat dari sulitnya upaya-upaya untuk mencoba mengakomodasi nilai-nilai Islam dalam perundang-undangan. Memang harus diakui dalam hal hukum perdata telah banyak kemajuan, misalnya dalam Pasal 10 UU 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan Agama Islam diakui keberadaannya setara dengan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Kemudian berlakunya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah No 28 tahun 1977 tentang Perwakafan. Belum lagi upaya-upaya pembaruan sistem moneter yang bebas riba dengan perbankan Syariah, asuransi Takaful dll yang diformalkan dalam bentuk perundang-undangan.

Perubahan kebijakan ini sedikit banyak merupakan pengaruh receptio a contrario yang dikembangkan Sayuti Thalib, pengajar utama Hukum Islam Universitas Indonesia dari teori receptio exit Prof Hazairin yang mengakui kembali Hukum Islam sebagai sistem yang berlaku sepenuhnya bagi umat Islam dengan mengeluarkan Hukum Adat.

Dengan kata lain Hukum Adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan Hukum Islam, wacana materiilnya baru terbatas pada hukum hukum yang diatur dalam perundang-undangan. Teori ini didukung oleh fakta sejarah berlakunya Syari’at Islam di kerajaan-kerajaan Islam sebagai hukum yang berlaku sebelum kedatangan penjajah Belanda seperti yang telah dikemukakan.

Pada tahun 1950 dalam Konferensi Departemen Kehakiman di Salatiga, Prof. Hazairin telah mengemukaakn suatu analisis dan pandangan agar Hukum Islam itu berlaku di Indonesia, tidak berdasarkan pada Hukum Adat. Berlakunya Hukum Islam menurut Hazairin, supaya disandarkan pada peraturan perundang-undangan tersendiri.

Pada bagian lain ia mengomentari pasal 29 UUD 1945 ayat (1) sebagai berikut:

- Dalam negara Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah Islam bagi umat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani bagi umat Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha.

- Negara republik Indonesia wajib menjalankan syariat Islam bagi orang Islam bagi orang Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali, syariat Budha bagi orang Budha. Sekadar menjalankan syariat tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

- Syariat yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk yang agama bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah SWT bagai setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing.

M. Daud Ali mencoba menganalisis mengapa Hukum Islam yang berlaku di Indonesia saat ini hanya dalam hukum muamalat saja, atau lebih sempit lagi hukum keluarga, kewarisan dan perwakafan. Ia memilah Hukum Islam di Indonesia menjadi dua :

Pertama, Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu Hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang disebut hukum muamalat. Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan peraturan perundang-undangan, seperti tentang perkawinan, warisan, perwakafan, dan perbankan syari’ah.

Kedua, Hukum Islam yang bersifat normatif yang mempunyai sanksi. Yang terakhir ini dapat berupa ibadah murni atau Hukum Pidana. Masalah pidana, menurutnya, belum memerlukan peraturan, karena ini lebih tergantung pada kesadaran dan tingkat iman takwa kaum Muslimin Indonesia.

Meskipun Indonesia sudah merdeka sejak tahun 1945, dan berlakunya pasal 29 ayat (1) UUD 1945, namun pandangan sebagian besar sarjana hukum masih terpengaruh teori receptie.

Demikian pula sikap pemerintah terhadap umat Islam tidak jauh berbeda dengan doktrin politik Snouck Hurgronje mengenai perlakuan terhadap Islam yang disampaikan di depan civitas akademika Nederlandsch Indische Bestuurs Academie (NIBA) di Delft tahun 1911.

Pertama, terhadap dogma dan perintah hukum yang murni agama, hendaknya pemerintah bersikap netral.

Kedua, masalah perkawinan dan pembagian warisan dalam Islam menuntut penghormatan.

Ketiga, tiada satu pun bentuk (gerakan politik) Pan-Islam boleh diterima oleh kekuasaan pemerintah. Pan-Islam yang dimaksud adalah kesadaran umat Islam Indonesia sebagai bagian umat Islam sedunia yang bersatu dibawah pemerintahan yang menjalankan syariat Islam secara kaffah.
























AKTUALISASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA
(PER-UU-AN YANG MENUNJUK KEPADA HUKUM MATERIIL SYARIAT ISLAM)

Mengutip pertimbangan maupun pasal-pasal tertentu selaku dasar atau pendukung dari pokok materi/kandungan perundang-undangan termaksud, seperti :

1. UU No. 38 Thn. 1999 Ttg Pengelolaan Zakat;
2. UU No. 7 tahun 1992, yang telah dirubah oleh UU N0. 10 tahun 1998, tentang Perbankan khususnya landasan hukum Bank Syariah;
3. UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
4. UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama;
5. P.P. No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik;
6. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;
7. P.P. No. 9 tahun 1975, tentang peraturan pelaksanaan Undang-undang Perkawinan UU No. 1 tahun 1974;
8. UU No. 32 tahun 1954 Tentang Nikah, Talak dan Rujuk;
9. Ordonansi tahun 1882 No. 152, yo. Ordonansi tahun 1937 No. 116 dan ordonansi tahun 1937 No. 610;
10. INPRES No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia.
11. UU. NO.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Ad. 1 . UU No. 38 tahun 1999, tentang PENGELOLAAN ZAKAT.

Mengutip dasar pertimbangan lahirnya UU Zakat ini, selanjutnya mengutip beberapa pasal yang menunjang tujuan UU itu, sbb :

Menimbang :
a. ……………
b. bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
c. bahwa zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu;

Mengingat :
1. ……………
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
3. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 19).


BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :

Pengelolaan zakat : kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengumpulan, pendistribusian, serta pendayagunaan zakat.

Zakat : harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh seorang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (terdiri atas : zakat mal dan zakat fitrah).

Zakat mal : bagian harta yang disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya;

Zakat fitrah : sejumlah bahan makanan pokok yang dikeluarkan pada bulan ramadhan oleh setiap orang muslim bagi dirinya dan bagi orang yang ditanggungnya yang memiliki kelebihan makanan pokok untuk sehari pada hari raya/Idul Fitri

Lembaga Amil zakat : institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa masyarakat dan oleh masyarakat yang bergerak di bidang da’wah, pendidikan, social dan kemaslahatan umat Islam;

Badan Amil Zakat : organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri dari unsure masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama;

Unit pengumpul zakat : satuan organisasi yang dibentuk oleh badan amil zakat di semua tingkatan dengan tugas mengumpulkan zakat untuk melayani muzakki, yang berada pada desa/kelurahan, instansi-instansi pemerintah dan swasta, baik dalam negeri maupun luar negeri;

Nishab : jumlah minimal harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakatnya;

Kadar zakat : besarnya penghitungan atau persentase zakat yang harus dikeluarkan;
Waktu zakat dapat terdiri atas : haul atau masa pemilikan harta kekayaan selama dua belas bulan Qomariah, tahun Qomariah, panen, atau pada saat menemukan rikaz;
Infaq : harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan, di luar zakat, untuk kemaslahatan umum;

Shadaqah : harta yang dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim, di luar zakat, untuk kemaslahatan umum;

Hibah : pemberian uang atau barang oleh seorang atau oleh badan yang dilaksanakan pada waktu orang itu hidup kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat;

Wasiat : pesan untuk memberikan suatu barang kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat; pesan itu baru dilaksanakan sesudah pemberi wasiat meninggal dunia dan sesudah diselesaikan penguburannya dan pelunasan utang-utangnya, jika ada;

Waris : harta tinggalan seorang yang beragama Islam, yang diserahkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

Kafarat : denda wajib yang dibayar kepada badan amilzakat oleh orang yang melanggar ketentuan agama
Muzakki : adalah orang atau badan yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat.

Mustahiq : adalah orang yang berhak menerima zakat;

Mustahiq delapan ashnaf : fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil, yang di dalam aplikasinya dapat meliputi orang-orang yang paling tidak berdaya secara ekonomi, seperti anak yatim, orang jompo, penyandang cacat, orang yang menuntut ilmu, pondok pesantren, anak terlantar, orang yang terlilit utang, pengungsi yang terlantar, dan korban bencana alam;

Agama : agama Islam.

Menteri : menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang agama.

Pasal 2

Setiap warga negara Indonesia yang beragama Islam dan mampu atau badan yang dimiliki oleh orang muslim berkewajiban menunaikan zakat.




Pasal 3
Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq, dan amil zakat.

BAB II ASAS DAN TUJUAN

Pasal 4
Pengelolaan zakat berasaskan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan pancasila dan UUD’45.

Pasal 5
pengelolaan zakat bertujuan : meningkatkan
pelayanan dalam masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama;
meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

BAB III ORGANISASI PENGELOLAAN ZAKAT

Pasal 6
pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.

Pasal 7
lembaga amil zakat dikukuhkan, dibina, dan dilindungi oleh pemerintah.



Pasal 8
Badan amil zakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan lembaga amil zakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, mempunyai tugas pokok mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.

Pasal 11
penghitungan zakat mal menurut nishab, kadar, dan waktunya ditetapkan berdasarkan hukum agama.

Pasal 12
pengumpulan zakat dikumpulkan oleh badan amil zakat dengan cara menerima atau mengambil dari muzakki atas dasar pemberitahuan muzakki.
Badan amil zakat dapat bekerja sama dengan bank dalam pengumpulan zakat harta muzakki yang berada di bank atas permintaan muzakki.

Pasal 14
zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB V PENDAYAGUNAAN ZAKAT
Pasal 16

hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai dengan ketentuan agama.
Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.

Dari hasil mengutip beberapa pertimbangan maupun pasal-pasal UU No. 38 tahun 1999, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa :

1. Hikmah zakat, sebagai salah satu Rukun Islam yang berhubungan dengan orang lain yang memiliki dimensi ganda, yakni: hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia;

2. Saling membutuhkan antara si miskin dan si kaya;

3. Pemerataan rijki yang diberikan oleh Allah SWT., si miskin dapat berlangsung hidup, si kaya untuk kenyamanan hidup.





Ad. 2. Undang-undang No .7 tahun 1992, dihubungkan dengan Undang-undang No. 10 tahun 1998, tentang PERBANKAN khususnya BANK SYARIAH.

Pendapat yang dikemukakan oleh Bpk Burhanuddin Abdullah, selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia, (tahun 2000, kini sejak tahun 2003 menjadi Gubernur BI) yang dikutip dari makalah beliau pada Seminar Nasional “Pengembangan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia dalam Menyikapi Otonomi Daerah dan Perdagangan Bebas”, di Unisba Bandung, November 2000.

“Keberadaan bank Syariah dalam sistem perbankan Indonesia sebenarnya telah dikembangkan sejak tahun 1992 sejalan dengan diberlakukannya UU No. 7 tahun1992 tentang Perbankan.”

UU No.7 belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank Syariah karena belum secara tegas mencantumkan kata Prinsip Syariah dalam kegiatan usaha bank.

Pengertian bank bagi hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum mencakup secara tepat pengertian bank Syariah atau Islamic Bank yang memiliki cakupan yang lebih luas dari bagi hasil.

Ketentuan operasional, sampai tahun 1998 belum terdapat perangkat hukum operasional yang lengkap yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank Syariah.

Dengan diberlakukannya UU No. 10 tahun 1998 maka landasan hukum bank Syariah telah cukup jelas dan kuat baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasional Syariahnya.
Dengan diberlakukannya UU No.23 tahun 1999, Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip Syariah, sehingga Bank Indonesia Diharapkan dapat mempengaruhi likuiditas perekonomian melalui bank-bank Syariah.
Dengan demikian, pengembangan bank Syariah yang dilakukan oleh Bank Indonesia merupakan amanah dari kedua UU tersebut. Dalam hal ini Bank Indonesia sebagai regulator berkewajiban untuk mengatur operasi Bank Syariah dengan mengeluarkan ketentuan-ketentuan perbankan yang sesuai dengan prinsip syariah dan menciptakan instrumen-instrumen yang dapat dimanfaatkan oleh Bank Syariah.”
Pasal-pasal yang berkaitan dengan Bank Syariah, diantaranya:
BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Angka 12
Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Pasal 1 Angka 13
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian menurut Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain:
Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah);
Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah);
Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah);
Pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah);
Prinsip sewa murni dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina);


Ad 3. UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

BAB IV PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8 huruf h
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal “ yang dicantumkan dalam label

Masalah label “halal”:
Kecenderungan yang muncul, justru label halal telah mengarah pada nilai-nilai komersial. Label halal sudah menjadi alat legitimasi untuk menghalalkan sesuatu barang yang belum tentu kehalalannya.

Dalam Al-Qur’an ditegaskan, harus memakan makanan yang halalalan-thayiban, bahkan diulang-ulang:
- Qs.Al Baqarah : 167;
- QS. Al-Anfal : 49;
- QS.Al Maidah : 88
- QS. An-Nahl : 114

QS.2 : 168 ; “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baikdari apa yang terdapat di bumi…….”
QS. 2 : 172 ; Hai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rijki yang baik-baik Kami berikan padamu. Dan bersyukurlah pada Allah jika benar-benar hanya kapada-Nya kamu menyembah”

Semuanya berkaitan dengan makanan.

Secara harfiah “ halalan thayiban” artinya : “yang halal lagi baik” atau “yang halal lagi suci atau bersih”. Jika dikaitkan dengan makanan, maka pengertiannya menjadi “makanan yang halal lagi baik, yakni makanan yang boleh dimakan dan diperjualbelikan”.

Makanan yang halalan thayiban :
- tidak termasuk dalam kelompok haram yang sudah dijelaskan dalam AlQur’an;
- pelaksanaan penyembelihannya sesuai dengan tuntunan syariat Islam termasuk dalam menguliti, menyimpan dan memasaknya;
- alat-alat teknologi modern yang dipergunakan untuk menyembelih, membersihkan, menyimppan, dan memasaknya disesuaikan dengan ketentuan syariat Islam.

Makanan yang termasuk kategori halal banyak sekali, baik yang terdapat di darat maupun di laut.Sedangkan yang termasuk haram sedikit sekali jumlahnya. Hal ini, bertujuan untuk melihat sejauhmana kepatuhan dan ketaatan manusia pada aturan-Nya. Dan yang haram itu tidak sesuai dengan hajat hidup manusia, secara jasmaniyah dan ruhaniyah.

Diantara firman-firman Allah Swt. :
QS.2 : 173, “yang diharamkan bagimu hanyalah bangka, darah, daging babi, dan yang disembelih dengan nama selain Allah” ;

QS. Al-An’nam : 145 dengan sedikit penjelasan bahwa darah yang diharamkan ialah yang mengalir (masfuhan). Dan bahwa bangkai, masfuhan dan daging babi adalah rijsun (kotor, najis atau tidak bersih) dan itu berbahaya bagi jasmani dan ruhani.

QS.Al Maidah : 3 disebutkan, yang juga haram hukumnya adalah “ yang tercekik, yang terbentur benda keras, yang jatuh dari tempat tinggi, yang tertanduk (karena berlaga), yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih (sebelum mati). Dan haram pula yang disembelih untuk berhala.

Menurut Hasbullah Hafidzi, makanan haram terbagi dalam dua kategori :
= haram secara fisik (haram fidzaatihi), yaitu yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an seperti khamar, babi, bangkai dsb.
= haram dilihat dari cara mendapatkannya (haram fikasabihi), yaitu makanan atau barang yang didapatkan dengan cara yang haram seperti mencuri, korupsi, menipu, judi dsb.

Meski bangkai sudah tegas diharamkan, namun syariat Islam juga memberikan kekecualian. Bangkai yang dikecualikan atau dihalalkan itu adalah bangkai ikan dan belalang. Selain itu, Islam memperboleehkan memanfaatkan kulit, tanduk, dan tulang bangkai (bukan untuk dimakan !). bahkan yang haram juga boleh dimanfaatkan untuk mengobati penyakit dengan syarat-syarat :

= penderita sdh mencapai pada tingkat gawat;
= tidak ada obat lain yang halal sebagai pengganti obat dari bahan yang haram itu;
= keterangan tentang keharusan penggunaan obat itu diberikan oleh dokter Muslim yamg berpengalaman dan taat.




Ciri-ciri kategori tidak halal (haram),( AlQur’an dan Hadist) :

= QS. Al Anfal : 157, khabaitsah , yakni lawan dari thayiban, spt. Najis, buruk dan semua yang haram termasuk yang merusak ;
= hewanyang bertaring, bercakar (untuk menerkam), dan berparuh tajam untuk memotong);
= binatang buas, seperti srigala, harimau, singa, termasuk gajah dan badak;
= binatang yang berbahaya, berbisa, dan beracun seprti kalajengking, ular dsb. ;
= binatang yang menjijikan, tidak diterima oleh fitrah kemanusiaan, spt cacing, lintah, tikus, ulat dan yang sebangsa dengan itu;
= binatang yang hidup di dua alam (di air dan darat), spt katak, penyu dsb. Namun sebagian ulam menyatakannya makruh.

Hadist Bukhari dan Muslim :

“Apa-apa yang halal itu sudah jelas dan apa-apa yang haram itupun sudah jelas pula, sedang diantara kedua perkara itu ada beberapa hal yang syubhat(belum tentu hala haramnya). Hal-hal yang syubhat itu tidak diketahui oleh sebagian besar manusia. Maka barangsiapa yang takut melakukan kesyubhatan, berarti ia telah menjaga dirinya dari sesuatu yang mencemarkan kehormatan pribadi serta agamanya. Dan barangsiapa yang jatuh dalam kesyubhatan-syubhatan, maka ia telah jatuh dalam keharaman, sebagaimana seorang penggembala yang menggembala di sekitar tempat yang terlarang, diragukan ternaknya itu makan dari tempat yang terlarang”.


Ad. 4. UU no.7 tahun 1989, tentang PERADILAN AGAMA.

Kelahiran UU ini merupakan pengembangan dari per-UU-an tentang Peradilan Agama yang telah ada sebelumnya, sekaligus sebagai realisasi dari ketentuan pasal 10 ayat 1 huruf b. UU No.14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman, yang dirumuskan pada pasal 10 ayat 1 tersebut bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan :

Peradilan Agama
Peradilan Umum
……….
……….
Sebelum terbentuknya UU No. 7 tahun1989 ini, kewenangan, hukum acara, dll, dari Peradilan Agama ini masih tersebar antara lain dalam UU Perkawinan UU No. 1 tahun 1974, dalam peraturan pemerintah No.9 tahun 1975, dalam stb 1882 No. 152 YO stb 1937 No. 610 dan No. 116, dll, PP No. 45 tahun 1957 dalam UU no.7 tahun 1989, terdapat hal yang sangat penting, yaitu perubahan maupun penambahan tugas :

Kewenangan, Hukum Acara, Penghapusan kewajiban pengukuhan dari peradilan umum atas putusan Peradilan Agama sebagaimana yang ditentukan pasal 63 ayat 2 UU No.1 tahun 1974.

Berikut ini kita kutip pasal-pasal yang berkaitan dengan pernyataan di atas:

BAB III KEKUASAAN PENGADILAN

Pasal 49
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
1. Perkawinan;
2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam;
3. Wakaf dan shadaqah;

Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a di atas ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai perkawinan yang berlaku.

Bidang Kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, maing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Dengan lahirnya UU No. 7 tahun 1989 ini, sebagaimana kutipan dari pasal 49 tersebut, maka cukup jelas bahwa kini peradilan agama khususnya di Jawa dan Madura menjadi berwenang memeriksa dan memutus perkara warisan umat Islam disamping perkara nikah, talak, rujuk. Sedangkan sebelum itu Peradilan Agama di Jawa dan Madura tidak berwenang kepada perkara waris, berbeda dengan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura, khususnya Peradilan Agama yang didasarkan pembentukan kewenangannya pada P.P. No.45 tahun 1957 yang pada masa lalu bernama “Mahkamah Syariah”

BAB IV HUKUM ACARA
Bagian Pertama (Umum)

Pasal 54
Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU ini.
Sebagai catatan penting lainnya adalah tentang rumusan kalimat terakhir pasal 54 tentang hukum acara yang berbunyi : “…..….kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU ini”.

Kalimat terakhir itu menentukan bahwa Hukum Acara Peradilan Umum (HIR) tidak secara utuh sebagai Hukum Acara Peradilan Agama, sebab dalam UU No 7 tahun 1989 tersebut telah diatur untuk hal-hal tertentu, khususnya berkaitan dengan “perceraian” diatur dengan hukum acara tersendiri. Hukum Acara tersendiri ini pada umumnya diambil dari P.P. No. 9 tahun 1975, berarti P.P. itu ditingkatkan menjadi UU.

BAB VII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 107
Pada saat mulai berlakunya UU ini, maka :
Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad tahun 1882 No. 152 dan Staatsblad tahun 1937 No. 116 dan No. 610);
Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian residensi Kalimantan selatan dan timur (Staatsblad tahun 1937 No. 638 dan No. 639);

Peraturan Pemerintah N0. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah diluar Jawa dan Madura (lembaran Negara tahun 1957 No. 99),dan Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 ayat (2) UU No. ! tahun 1974 tentang Perkawinan (lembaran Negara tahun 1974 No. 1, tambahan lembaran Negara No. 3019), Dinyatakan tidak berlaku

Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 236 a Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), Staatsblad tahun 1941 No. 44, mengenai permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.

Yang dimaksud dengan “ketentuan pasal 63 ayat 2, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan tidak berlaku”, ditentukan pasal 107 ayat (d) diatas, adalah bahwa pada masa sebelum UU No. 7 tahun 1989 berlaku apabila terjadi suatu putusan Peradilan Agama yang dikalahkan enggan melaksanakan putusan Peradilan Agama itu, maka agar putusan itu dapat dijalankan secara paksa sebagaimana menjalankan putusan Peradilan Umum, maka putusan Peradilan Agama itu harus terlebih dahulu mendapat executoir verklaring (fiat eksekusi) dari Peradilan Umum. Kini kekhususan mendapat fiat eksekusi itu tidak berlaku lagi.
Ad. 5. P.P. No. 28 tahun 1977, tentang PERWAKAFAN TANAH MILIK

Memperhatikan dasar pertimbangan, maupun ketentuan-ketentuan yang termuat dalam P.P. No. 28 tahun 1977 ini, sangat jelas bahwa tujuannya adalah untuk menertibkan prosedur, pengertian wakaf, kepengurusan dan tujuan wakaf.

Selain dari itu adalah untuk mengantisipasi penyalahgunaan terhadap tanah wakaf. Sebab masa yang lalu sering terdapat kejadian diantara anggota masyarakat yang mengaku sebagai ahli waris dari wakif (orang yang mewakafkan) tanah wakaf, baik sebagai kuburan umum, atau tempat/lahan bangunan keagamaan seperti mesjid, madrasah, dll.

Sehingga pada saat lahan tersebut benar-benar dibutuhkan untuk kepentingan umum yang sangat mendesak secara obyektif seperti lanjutan pembangunan jalan raya, muncul seseorang yang mengaku sebagai ahli waris wakif yang berhak untuk mendapat ganti rugi, atau sebagai orang yang berhak menentukan “setuju” atau “tidak setuju” terhadap rencana di atas tanah wakaf tersebut.

Kejadian-kejadian demikian ini pada umumnya terjadi disebabkan karena pada masa itu belum jelas siapa yang menjadi nadzir (pengelola yang sah atau berwenang) serta kesalahan pengertian dan persepsi tanah wakaf dan ahli waris. Bahwa sesungguhnya menurut Islam, apabila tanah telah diwakafkan, tidak ada lagi ahli waris atau orang yang berhak mendapat ganti rugi. Kecuali nadzir sebagai aparat lembaga sosial yang kewenangan tugasnya tidak sepanjang masa dan tidak dapat mewariskan tugas dan kewajiban keagamaan itu sebagai nadzir.

Berdasar pertimbangan itulah maka dikeluarkan P.P. No. 28 tahun1977, sekaligus sebagai realisasi dari ketentuan Undang-Undang Agraria (UU No. 5 tahun 1960) yang mengatur khusus status, pendaftaran, dll., tanah-tanh berkaitan dengan keagamaan.

Berikut ini kita kutip dasar pertimbangan dan beberapa pasal yang menunjuk kepada tujuan, prosedur, status tanah wakaf, dll.

Menimbang :
bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragam Islam, dalam rangka mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila;
bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan;

bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat (1) huruf b dan pasal 49 ayat(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tata cara dan pendaftaran perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya.
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.

BAB II FUNGSI WAKAF

Pasal 2
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.

Pasal 5
pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secar jelas dan tegas kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.

Pasal 6
(2) jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut :
badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan(2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah sperti dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.

Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir

Pasal 7
Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf.
Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Tatacara perwakafan tanah milik
Pasal 9
Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama.
Perubahan perwakafan tanah milik
Pasal 11
pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf

Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif.
karena kepentingan umum.

Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.

Peny. Perselisihan Perwakafan Tanah Milik

Pasal 12
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ad. 6. UU No.1 tahun 1974 dan P.P. No. 9 tahun 1975, tentang PERKAWINAN DAN PERATURAN PELAKSANAAN UU PERKAWINAN

Undang –Undang perkawinan No.1 tahun1974 dan P.P. No. 9 tahun1975 adalah undang-undang perkawinan nasional yang berlaku bgi setiap warga negara Indonesia. Maka setiap Insan Indonesia wajib taatpada ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nasional ini, kususnya kewajiban menaati ketentuan agama yang dianut seseorang.

Sebagai contoh masalah, seorang wanita Islam tidak dapat menikah dengan seorang pria bukan Islam, karena dilarang oleh agama Islam seperti tercantum dalam Al-Quran surah Al-Baqarah (II) ayat 221, yang intinya mengharamkan seorang muslim menikah dengan seseorang yang bukan muslim. Larangan agama tersebut kemudian menjadi suatu larangan juga berdasar kepada UU No.1 tahun1974, pasal 8 F.

Selanjutnya jika kita perhatikan pasal-pasal dalam undang-undang ini khususnya yang berkaitan dengan larangan perkawinan secara material, larangan perkawinan yang tercantum dalam Pasal 8, 9, 10, 11 (akan dikutip di bawah), ternyata sama dengan larangan perkawinan yang terdapat dalam Surah An-Nissa (IV) ayat 22, ayat 23, dan ayat 24, juga surah Al-Baqarah (II) ayat 221 dan ayat 228.

Apabila kita perhatikan PP No.9 tahun 1975, sangat jelas sejalan dengan rumusan yang dimaksud UU No.1 tahun1974.

Ada beberapa hal lain yang sangat menarik dari UU maupun PP diatas, yaitu yang berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama. Meskipun bila dilihat dari judulnya UU No.1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun1975 adalah mengenai perkawinan, akan tetapi banyak pasal-pasal pada kedua perundang-undangan itu yang mengatur Hukum Acara Peradilan Agama. Hal tersebut dikarenakan pada masa itu memang belum terbentuk Hukum Acara Peradilan Agama secara khusus, sedang kepentingan akan hal itu sudah mendesak.

Kini Hukum Acara Peradilan Agama sudah terbentuk berdasarkan UU No.7 tahun 1989. Namun UU ini hanya sekedar menunjuk (lihat Pasal 54)
“ Hukum Acara Peradilan Agama adalah hukum Acara yang berlaku pada Peradilan Umum, yaitu H.I.R./R.Bg., sekalipun ketentuan khusus, seperti rumusan kalimat terakhir pasal 54 yang berbunyi : “…kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.”
Dalam UU No.7 tahun 1989 itu juga materi dan rumusannya dapat dikatakan sangat banyak mengambil alih rumusan atau ketentuan dari dari pasal-pasal PP No.9 tahun 1975.

Dengan kata lain, sepanjang yang berkaitan dengan Hukum Acara Peradilan Agama dalam PP. No.9 tahun 1975, khirarkie derajatnya sebagai PP kini menjadi Undang-undang Khusus yang berkaitan dengan Hukum Acara talaq/perceraian seperti pada Pasal 14, 15, 16, 17, PP No.9 1975 dan tata cara pemanggilan untuk persidangan, juga Pasal 20 PP tersebut.

Isi/materi pasal-pasal tersebut kini termuat pada Pasal 65 sampai dengan Pasal 80 UU No.7 tahun 1989. Berikut ini kita kutip pasal-pasal yang berkaitan dengan hal perkawinan, larangan perkawinan, hukum acara, dsb. :

BAB I DASAR PERKAWINAN

Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.



Pasal 2
perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
- Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas.
- Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
- Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu/bapak tiri.
- Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
- Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
- Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-Undang ini.

Pasal 10
Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan ……..

Pasal 16
pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam pasal 7 ayat (1), pasal 8,pasal 9, pasal 10, dan pasal 12 Undang-Undang ini tidak dipenuhi.

Berikut ini dikutip dari P.P. No. 9 tahun 1975 :

BAB III TATA CARA PERKAWINAN

Pasal 10
perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat seperti yang dimaksud dalm pasal 8 Peraturan pemerintah ini.
Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

BAB V TATA CARA PERCERAIAN

Pasal 14
Seorang suami yang telah melangsungkan suatu perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal 15
Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.

Pasal 16
Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan pengadilan berpendapat bahwa antara suami istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 17
Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 16, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian tersebut. Surat keterangan itu dikirimkan kepada Pegawai Pencata di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan perceraian.

Pasal 18
Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan.

Pasal 19
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
- salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
- salah satu pihak meninggalkan pihak lain 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
- salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
- salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
- salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
- antara suami dan istri terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 20
gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat.

Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.




Pasal 21
gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 19 huruf b, diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat;
gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan rumah.
Gugatan dapat diterima apabila tergugat manyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama.

Pasal 22
gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf f , diajukan kepada pengadilan ditempat kediaman tergugat.
Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-istri itu.










SALAH PAHAM TERHADAP ISLAM DAN HUKUM ISLAM

Pengertian terhadap “Agama Islam” dan “Hukum Islam” oleh kaum non Islam di Barat termasuk Amerika, sering menyimpangkan pengertian Islam dan Hukum Islam dari ajaran hakikinya, diselewengkan dari yang seharusnya.

Bahkan kemana-mana gencar dihembuskan berita, Islam itu sebagai sarang teror, sebagai indikasi kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan dan semacamnya. Sayangnya semacam ini banyak juga didapati pada kaum Muslimin sendiri, tentu dari golongan yang berorientasi pemikiran Barat dan mempunyai tujuan untuk menguasai lebih lama warga Muslim yang negaranya kaya, tapi warganya masih berpendidikan rendah, apalagi ekonomi teknologi negaranya masih dikuasai hanya oleh segelintir keluarga menak bahkan oleh negara lain.

Dengan berdalih untuk melindungi, untuk membantu kaum terbelakang (Islam) dari kalangan Barat ini, berupaya secara licik memecah belah kaum Muslim itu sendiri, sehingga sesamanya Islam berseberangan dan berperang-perangan. Inilah taktik licik dan kebusukan akal Barat untuk menguasai kaum terbelakang (Islam).

Pemahaman, pengertian Islam kesana kemari dihembus-hembuskan sebagai sarang teror, radikalisme, dan lain-lain.

Osama bin Laden seorang pengusaha kaya turunan Arab, dituduh sebagai otak penghancuran gedung WTC, New York pada tanggal 11 September 2001. Akibatnya bagi Amerika sangat memalukan. Bukan merugikan yang dikeluhkan mereka. Tapi bagai sambaran petir di siang bolong. Konsekuensinya bagi kaum Islam, Amerika semakin gencar, menggalang kekuatan, kerja sama menghadapi dan menghancurkan teroris internasional (Islam). Di kalangan negara yang warganya mayoritas memeluk agama Islam saling melirik kepada sesama negara Islam lainnya, apakah akan mengikuti “ancaman” kerja sama dengan Amerika itu ? Sementara hutang maupun harapan hutang lagi dari Amerika masih terbayang dan diperlukan.

Dalam situasi demikian itulah Amerika semakin arogan menuding kaum Islam itu sebagai teroris. Sayangnya dalam sikap standard gandanya, di satu saat ia (Barat) melihat Islam sebagai sahabat, tetapi sebagai sahabat yang dirangkul lalu dicekoki untuk dicekik dan terbelakang ekonomi sosial, kekuatannya selamanya. Disatu saat lagi Osama Bin Laden adalah mitra dagang orang Amerika, termasuk jual beli senjata, tapi waktu yang lain sebagai buron paling nomor wahid di dunia, melebihi Saddam Husein di Irak, Muammar Kadhafi di Libia.

Dengan bermacam tantangan yang dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam membela diri, hak asasi, sampai dengan rela mengorbankan diri, berjibaku mengorbankan jiwa dengan “bom bunuh diri” oleh Amerika dan sahabatnya Israel, digembor-gemborkan sebagai tindakan teroris (Islam). Tapi bagaimana ia menilai kalau negara berpenduduk mayoritas Islam yang dibomi, diserang, dan lain-lain ? Amerika cs akan berdalih membela hak asasi.

Kegencaran Amerika menggalang sahabat untuk melawan teroris, membuat pejabat negara ini sibuk kesegala penjuru dan tentu lebih mengkampanyekan lagi bahwa Islam itu benar-benar agresar, teroris, dan lain-lain, sehingga mempunyai hak untuk memberi pandangan salah terhadap agama Islam untuk seterusnya Hukum Islam.

Penyebab timbulnya salah kaprah dan salah paham terhadap Islam, kita golongkan sebagai akibat dari:

- Salah memahami ruang-lingkup ajaran Islam,
- Salah mengambarkan kerangka dasar ajaran Islam,

- Salah mempergunakan metode mempelajari Islam. Yang dimaksud dengan Islam dalam kalimat-kalimat terakhir ini adalah agama Islam.

Ad. 1. Kesalahfahaman mengenai ruang-lingkup ajaran Islam

Orang menganggap semua agama itu sama dan ruang-lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama Nasrani yang ruang-lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, sehingga orang menganggap Islam hanya hubungan manusia dengan Tuhan. Tetapi seperti telah disebutkan di muka, dinul Islam atau agama Islam itu tidaklah hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhan belaka, seperti yang dikandung oleh istilah religion, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendi
i, dengan masyarakat dan dengan benda dan alam sekitarnya. Jika kita pelajari, agam
Is
am itu dari sumbernya yang asli yaitu Al Qur’an dan Sunnah, kita akan memperoleh gambaran yang jelas bahwa ajaran Islam tidak hanya memuat ajaran tentang bagaimana manusia harus bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupannya didunia ini terhadap dirinya sendiri, manusia lain dan lingkungan hidupnya.
Ad. 2. Kesalahfahaman terjadi karena orang sering merasa telah mempelajari Islam,
padahal baru sebagian kecil, tidak secara menyeluruh sebagai satu kesatuan, tetapi sepotong-sepotong.

Seseorang memberi kesan seakan-akan agama Islam itu isinya hanyalah mengenai akidah atau iman saja, atau agama Islam itu hanya tentang syari’ah atau hukum belaka, atau agama Islam itu hanyalah ajaran akhlak semata-mata, tanpa meletakkan dan menghubungkan bagian-bagian itu dalam rangka dasar keterpaduan ajaran Islam secara menyeluruh. Menggambarkan agama Islam dengan cara sepotong-sepotong inilah yang telah menyebabkan Islam disalahfahami di dunia ini.

Untuk menghindari kesalahfahaman karena salah menggambarkan bagian-bagian ajaran Islam itu, maka harus dipelajari komponen-komponen ajaran Islam seluruhnya dalam satu kesatuan yang padu, seperti yang telah dicoba diuraikan di muka. Mempelajari dan memahami Islam secara sepotong-sepotong saja tanpa menghubungkannya dengan yang lain dalam kerangka sistem ajaran Islam akan menghasilkan pemahaman yang salah terhadap Islam.

Selain dari itu, untuk memperoleh wawasan yang baik dan benar tentang ajaran Islam, kajian dan pemahamannya harus dihubungkan dengan berbagai persoalan asasi yang dihadapi oleh manusia dalam masyarakat dan dilihat relasi serta relevansinya dengan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial, budaya sepanjang sejarah, terutama sejarah ummat Islam. Mempelajari dan memahami Islam dengan bantuan ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang sampai sekarang, akan memperluas wawasan kita tentang Islam. Ilmu-ilmu alamiah, ilmu-ilmu sosial dan budaya, ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora beserta cabang dan rantingnya adalah ilmu-ilmu bantu dalam kajian Islam untuk memperoleh pemahaman yang baik dan benar.

Ad.3. Kesalahfahaman ke-(3) terjadi karena sengaja.

Metode yang dipergunakan oleh orientalis, terutama sebelum perang dunia kedua, adalah pendekatan yang tidak benar, karena mereka, pada umumnya, menjadikan bagian-bagian bahkan seluruh ajaran Islam semata-mata sebagai obyek studi dan analisa. Untuk kemudian mencari kelemahan yang dapat disimpangkan dari yang seharusnya, untuk jadi alat menguasai kaum Islam. Misalnya perang Aceh melawan Belanda dengan mengirim Snouck Hurgranje.

Artinya, mereka mempergunakan metode mempelajari dan menganalisa ajaran Islam dengan metode dan analisa serta ukuran-ukuran yang tidak Islami, tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hasilnya, tentu saja tidak memuaskan dan pasti menimbulkan salah faham terhadap Islam, sebagai agama yang kejam, tidak mengenal hak asasi, keras, dan lain-lain.

Para orientalis yang mempelajari Islam seringkali pula melakukan pendekatan menyamakan agama Islam dengan kedaan ummat Islam di suatu tempat pada suatu masa. Keadaan ummat Islam yang miskin, terbelakang di suatu tempat pada kurun waktu sekarang ini mereka pergunakan sebagai data untuk menarik kesimpulan bahwa ajaran Islam menganjurkan atau membiarkan kemiskinan dan keterbelakangan. Atau mereka menganggap kemiskinan dan keterbelakangan itu terjadi di kalangan ummat Islam karena agama Islam tidak mendorong para pemeluknya untuk maju dan berkembang. Para orientalis Barat (Amerika) menyamakan ajaran Islam dengan ummat Islam itu.

Metode atau pendekatan yang dilakukan oleh para orientalis ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, untuk mempelajari Islam secara baik dan benar dan agar tidak salah faham terhadap Islam, pelajarilah Islam dengan metode yang sesuai dengan ajaran Islam. Metode mempelajari Islam telah lama ada di kalangan orang Islam sendiri, tetapi masih perlu dikembangkan sesuai dengan perkembangan ilmu dan studi Islam sekarang ini. Beberapa sarjana muslim telah mengemukakan pendapatnya mengenai berbagai metode yang sesuai dengan ajaran Islam. Prof. Daud Ali menyebut beberapa nama sebagai contoh, Ismail R. Faruqi, M. Najib Alatas, S. Hossein Nasr, Fazlur Rahman, Ali Syari’ati, Deliar Noer.

Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengkaji dan memahami (ajaran) Islam. Mutatis mutandis (dengan perubahan-perubahan yang diperlukan disana-sini) hal itu berlaku juga dalam mengkaji dan memahami hukum Islam.

Ini berarti bahwa hukum Islam harus:
- Dipelajari dalam kerangka dasar ajaran Islam, yang menempatkan hukum Islam sebagai salah satu bagian dari agama Islam,
- Mempunyai hubungan yang erat dengan iman (akidah) dan kesusilaan (akhlak, etika atau moral) sehingga, dalam sistem hukum Islam, iman, hukum dan kesusilaan itu tidak dapat dicerai pisahkan,
- Mempunyai beberapa istilah kunci, diantaranya adalah syari’ah dan fikih, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan.

Untuk pembaharuan dan pengembangan hukum Islam, ke dua istilah ini harus difahami benar maknanya: syari’ah adalah ketetapan Allah dan ketentuan Rasul-Nya sedang fikih adalah pemahaman dan hasil karya manusia tentang syari’ah, mengatur seluruh tata hubungan kehidupan manusia, baik dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya.

Dalam hubungan ini perlu segera dicatat bahwa kendatipun hukum Islam mempunyai hubungan yang erat dengan iman yakni komponen lain dari agama Islam, tetapi hal-hal yang berhubungan dengan iman atau keyakinan seorang muslim tidaklah dibicarakan dalam kuliah ini.

Demikian juga halnya dengan hukum Islam bidang ibadah yakni upacara dan cara pengabdian langsung manusia kepada Tuhannya. Juga soal kesusilaan atau akhlak. Yang dipelajari dalam kuliah ini adalah asas-asas hukum Islam bidang muamalah dalam pengertian umum yaitu asas-asas pengaturan tata hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam kehidupan masyarakat.





BUKU-BUKU WAJIB


Ahmad Hanafi, Pengantar Dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Yogya, 1970.

E.Abdurrahman, Perbandingan Madzhab, Sinar Baru, Bandung, 1991.

Endang Soetari, Ilmu Hadist, Amal Bakti Press, Bandung, 1994.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an Dan Hadist, Tintamas, Jakarta, 1970.

Mohamad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999.

Saidus Syahar, Asas-asas Hukum Islam, Alumni, Bandung, 1996.

.





BUKU-BUKU ANJURAN


Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II), CV.Mandar Maju, Bandung, 1997.

Abdul Rahman Mudis & Abu Ahmad, Ilmu Hadits, Armico, Bandung, 1988.

Abdurrahman Wahid, Dkk. Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran Dan Praktek, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.

Bagir Manan, Peranan Hukum Islam Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah, Gamasis, FH-Unpad, Bandung, 1996.


Departemen Agama R.I., Al Qur’an Dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci, Jakarta, 1978.

E.Abdurrahman, Perbandingan Madzhab, Sinar Baru, Bandung, 1991.


Juhaya S.Praja, Hukum Islam Peluang Dan Tantangannya Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah, Gamasis, FH-Unpad, Bandung, 1996.


Moh.Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam Sejarah Timbul dan Berkembangnya, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Di Indonesia, Sinar Grafika Jakarta, 1995.

M.Tahir Azhari, Sejarah Hukum Islam, Makalah, UI, Depok, 1995.

Munawir Sadzali Dkk., Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, UII Press, Yogyakarta,1999.


Rahmat Djatnika, Dkk., Hukum Islam Di Indonesia Perkembangan Dan Pembentukan, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991.

Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Sinar Baru, Bandung, 1990.


Label:

posted by Lores Pardede at 04.23

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home